Pages

Foto 1

kenangan ketika masih nyantri di PPDM lamongan.

Foto 2

Festifal Teater di kabupaten lamongan.

Foto 3

Foto bareng mahasiswa fakultas syariah iain sunan ampel surabaya.

Foto 4

Kenangan Kegiatan yang lalu.

Foto 5

HUKUM.

Selasa, 10 Januari 2012

KARYA ILMIAH


PENERAPAN HUKUM ADAT MINANGKABAU
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh kelulusan UAS pada mata kuliah
“BAHASA INDONESIA”






Oleh :
AHMAD ZAKARIYAH
NIM : C73211075

Dosen Pembimbing :
SITI RUMILAH, M.Pd

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI SIYASAH JINAYAH
2011-2012
KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaikum Wr . Wb.
 Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, sehingga penulisan karya tulis ilmiah ini yang berjudul ‘’penerapan hukum  adat minagkabau’’dapat berjalan dengan baik dan lancar,
Dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.

Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Semoga karya tulis ilmiah yang kami buat ini bisa bermangfaat bagi semua kalangan yang membacanya.
Surabaya,27 Desember 2011
Penulis





ABSTRAK

Tujuan dari pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum adat Minangkabau, di dalam karya ilmiah ini akan di jelaskan bagaimana hukum adat minangkabau, sekaligus penerapan hukum adat minangkabau itu sendiri, dalam hukum waris, hukum perkawinan, susunan masyarakatnya, macam-macam adat minangkabau, dan bagaimana hukum minangkabau ini dalam menghadapi perkenbangan zaman yang semakin moderen ini, semua akan di bahas dalam karya tulis ilmiah ini.



BAB I
PENDAHULUAN

Minangkabau, adalah suatu tempat di Indonesia di mana orang dapat menjumpai masyarakat yang disusun dan diatur menurut tertib hukum ibu.
Kita dapat melihat bahwa faktor turunan darah menurut garis ibu merupakan faktor yang mengatur organisasi masyarakat, kehidupan yang diatur menurut tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari  sebagai kehidupan menurut adat.
Susunan inilah yang menjadi warisan turun-temurun bagi masyarakat minangkabau sampai saat ini, karena memang demikian yang diadatkan, telah demikian hukumnya.
Yang di sebut hukum adat adalah suatu aturan-aturan hidup, tetapi di sini kita mengartikan aturan yang tidak di tulis di dalam kitab undang-undang positif, tetapi aturan-aturan yang hanya hidup di dalam kesadaran manusia atau suatu masyarakat yang memakainya, mereka bertindak dan berbuat menurut aturan-aturan yang hidup dalam kesadaran hukum merekah, dengan aturan-aturan adat itulah yang mereka jalani adalah sebaik-baiknya di lakukan agar dapat hidup dengan tentram.

1.1.  Latar belakang masalah
Hukum adalah sebagai suatu system bagi masyarakat khususnya masyarakat minangkabau, hukum adat dalam kehidupan masyarakat minagkabau mulai dari lingkup keluarga sampai Negara, bagaimanakah sistem yang ada di dalam hukum adat minagkabau, bagaimana penerapan hukum adat minangkabau, bagaimana hukum adat minangkabau dalam menghadapi perubaan zaman.

1.2.  Rumusan masalah
Dalam perumusan masalah ini kami akan merumuskan dalam suatu bentuk pertanyaan dan akan di jawab oleh hasil penelitian kami, dari pencarian masalah oleh kami, kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana penerapan hukum adat minagkabau?
2.    Bagaimana adat minangkabau itu?
3.    Bagaimana hukum adat minagkabau dalam menghadapi perubahan zaman?
4.    Bagaimana sistim hukum adat minagkabau?

1.3.  Batasan masalah
Kami membatasi masalah yang kami bahas dalam judul karya tulis ilmiah kami yang berjudul ‘’penerapan hukum adat minangkabau’’ jadi kami hanya membahas yang berkaitan dengan hukum adat miangkabau.

1.4.  Tujuan penelitian
Tujuan penelitian penerapan hukum adat minangkabau ini adalah untuk mencari atau mengetahui hukum adat minangkabau dan hukumnya serta penerapanya dalam kehidupan masyarakatnya dan bagai mana hukum adat minagkabau dalam menjawab tantangan zaman.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Susunsn masyarakat
2.1.1. Suku  
suku ialah suatu kesatuan masyarakat, di mana angotanya masih memiliki hubungan darah di lihat menurut garis ibu, dan satu dengan yang lain merasakan akan adanya bersaudaraan di antara mereka, oleh hal ini telah dikisahkan oleh pepatah :
Malu nan indak dapek diagih
Suku nan indak dapek dianjak.
Pepatah inimenunjukan hubungan yang sangat erat diantara suku senama, karena sesuatu masalah satu suku merasa malu maka rasa malu ini juga akan di rasakan oleh suku yang lain yang senama, sedangkan seseorang yang pergi meningalkan negrinya, misalnya merantau dan sebagainya, di tempat yang baru didataginya dia mencari orang yang sesuku dengan diauntuk meminta tolong untuk masalah tempat, biasanya dia di terima dan masuk kedalam lingkungan suku senamanya di tempat yang baru ini.
2.1.2. Kampung
kampong di sini adalah di mana masyarakat yang banyak dan membangun rumah yang saling berdekatan makajadilah yang namanya kampong, perkataan kampong iniberkaitan erat dengan keluarga yang selingkungan daerah.




2.1.3. Nagari
Nagari adalah persekutuan hukumyang berdiri di atas dasar faktor territorial dan faktor genealogi. Yang di maksudkan adalah bahwa nagari itu, tertentu di mana batas-batasnya serta di dalam nagari itu minimal ada empat suku. Hal ini adalah aturan ketatanegaraan sepertiyang dinyatakan dalam kata adat yaitu :
Nagari  bakaampek suku
Nan bahindu babuah paruik
Kampong batuo
Rumah batuganai

2.2. Kelarasan, Luhak, dan Ratau

2.2.1.      Kelarasan
Laras dalam bahasa minangkabau di sebut lareh pengertiaanya selalu di hubungkan dengan alam minangkabau. Akan tetapi kita selalu memperoleh keterangan yang berbeda-beda apakah lareh ini merupakan hasildari pembagian daerah, oleh karena itu kita menjumpai di minangkabau kita menjumpai dua keadaan yaitu kelarasan koto-piliang dan kelarasan bodi caniago, jadikami berkesimpulan bahwa yang lareh itu adalah masing-masingnya merupakan kesatuan, yang merupakan kesatuan, yang merupakan bagian alamdari minangkabau.

2.2.2.      Luhak
Kita akan menjumpai tiga luhak dalam alam minangkabau, pengertian luhak ini berkaitan tentang daerah tertentu.
Menurut legenda terjadinya luhak ini karena ciptaan kedua ahli alam minangkabau, yaiti Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih yang membagi alam minangkabau dalam tiga lugak. Yang di maksud tiga luhak adalah Luhak tanah datar, Luhak agama dan Luhak lima puluh koto.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa terjadinya luhak kini setelah wafatnya raja minangkabau yang kemudian alam minangkabau di bagi menjadi tiga karena adatiga yang mengantikan beliau.
Sejak itu kita ada tiga raja di padang barat, inilah yang di namakan ‘’Rajo nan Tigo’’ yaitu rajo alam yang berkedudukan di pagaruyung  dan yang terutama di antara yang tiga, Rajo adat berkedudukan di bua serta Rajo ibadat sebagai kepala urusan agama berkedudukan di sumpur kudus.
Dan nantinya ketiga daerah kekuasaan para rajo inilah yang menjadi Luhak.
2.2.3.      Rantau
Di dalam arti sempit yang di maksud rantau adalah daerah pesisir barat yang di bawah alam lingkungan minangkabau, sedang dalam arti luas yang termasuk dalam rantau adalah meliputi juga daerah pesisir timur termasuk Rokan, Siak, Kampar, Kuantan, Batang hari termasuk dalamlingkungan alam minangkabau, semua ini termasuk dalam alam minangkabau, yang memerinta di Rantau adalah rajo (Raja). Rajo di rantau ini sama dengan penghulu di darek. Rajo biasanya tinggal di tepi laut.

2.3. Adat dan Macam-Macamnya
Apabila kita bicara mengenai Minangkabau maka kita harus berjumpa dengan perkataan adat. Di minangkabau ada 4 macam adat yang telah lama di pakai oleh orang Minangkabau secara turun-temurun yaitu:
1.      Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat)
2.      Adat nan di adatkan
3.      Adat nan teradat
4.      Adat istiadat

2.3.1.       Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat)
Yang di maksud dengan Adat nan sabana adat ialah segala sesuatu yang sedemikian  telah terjadi menurut kehendak Allah, jadi yang telah menjadi ketentuan alam, yang selalu abadi dan tidak berubah-ubah, seperti : murai bakicau, jawi malanguah, kabau mangowek, ( murai berkicau, sapi melenguh, kerbau menguwek). Jadi merupakan hukum kodrat yang memang demikian di jelmakan alam.

2.3.2.       Adat nan diadatkan
Adat nan diadatkan yaitu adat yang di buat oleh ahli pengatur alam minangkabau yaitu Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan sabatang, menurut anggapan rakyat ini juga termasuk abadidan tak berubah-ubah seperti kita jumpai dalam pepatah : indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan.
Nyata bagi kita sifat abadinya hanya di dalam angapan rakyat, bukan merupakan sifat asasi dari adat itu. Karena adat itu merupakan aturan hidup, sedangkan manusia bergerak dengan dinamikanya, maka berubah-ubahnya adat untuk melaraskan diridengan kehendak atau kebutuhan zaman biasa.
Aturan adat nan diadatkan ialah terdiri dari :
a.       Cupak nan duo                  :  1. Cupak usali
       2. Cupak buatan
b. kato nan ampek                   :  1. Kato pusako
    2. Kato mufaka
    3.Kato dahulu ditepati
    4. Kato kemudian kato di cari
c. undang-undang nan ampek :  1. Undang-undang luhak atau rantau
2. Undang-undang nagari
3. Undang-undang  di dalam nagari
4. Undang-undang nan duo puluah
d. Nagari nan ampek               :  1. Teratak
2. Dusun
3. Koto
4. Nagari


Pengertian dari aturan adat di atas adalah :

a.      Cupak nan duo
1.      cupak usali
Cupak dalam arti yang sebenarnya adalah seruan bambu yang di pakai sebagai alat buatan untuk menentukan takaran isi, tetapi dalam pegertian yang terkandung dalam cupak usali adalah segalah sesuatu yang di jelmakan alam atau Tuhan.
2.      Cupak buatan
Untuk lebih menimbulkan keselarasan dalam masyarakt tentu tidak cukup dengan cupak usali saja tetapi cupak buatan juga di butuhkan  karena semua harus berjalan menurut hukum.
Cupak buatan dalam arti aturan hukum yang di buat oleh ke dua ninik yaitu Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan sabatang, juga aturan-aturan yang di buat oleh penghulu-pengulu, para orang-orang cerdik.

b.      Kato nan ampek
1.      Kato pusako
Kata pusaka ialah kata dari ninik Dt. Ketumanggungan serta Dt. Perpatih nan sabatang, yang kemudian kata itu dijadikan pedoman serta ukuran di dalammenyusun hidup bersamabagi orang-orang minangkabau seperti ukur jangka; lukis lembaga; baris belebas; dan sebagainya.
2.      Kato mufakat
Yang dimaksud kato mufakat yaitu aturan-aturan hidup bersama, yang di buat atas dasar pemufakatan.maksud dari aturan yang merupakan kata mufakat itu adalah untuk mendekatkan diri kepada kebajikan, untuk menjauhkan dari segala kejahatan,untuk menimbulkan usul,penghilangan gaduh agar terjelma kebajikan hidup bersama yang berfaidah bagi orang banyak.
3.      Kato dahulu di tempati
Yang di maksud di sini ialah kebiasaan-kebiasaan yang telah di pakai,yang telah ada sebelum ke dua datuk, kata’’dahulu di tempati’’yaitu kebiasaan-kebiasaan yang ada sejak dulu diteruskan saja sampai generasi berikutnya.


4.      Kato kemudian kato bacari
Oleh kata dahulu banyak yang kurang baik dan kurang patut di pakai, maka di carilah mana yang baik mana yang member kebajikan pada isi nagari. Inilah yang di maksudkan dengan kata bancari.
c.       Undang-undang nan ampek
1.      Undang-undang luhak/rantau adalah aturan mengenai bagaimana susunan di luhak dan di rantau.
2.      Undang-undang nagari adalah mengenai aturan yang mengatur syarat-syarat yang harus di miliki oleh setiap nagari.
3.      Undang-undang di dalam nagari atau yang sering di sebut indang-undang orang di dalam nagari, yang di maksud di sini adalah aturan perdata, yaitu aturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain di dalam nagari.
4.      Undang-undang nan duo puluah ini merupakan aturan-aturan hukum pidanayang mencakup macam-macam kejahatan.
d.      Nagari nan ampek
Nagari nan ampek ini juga bisa di sebut koto ampek yaitu undang-undang di dalam nagari.

2.4.   Hukum perkawinan adat minagkabau
2.4.1. Perkawinan Adat
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
 Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
 Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minangkabau. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau yaitu dengan syarat-syarat sebagai berikut:


1.     Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 

2.     Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.

3.     Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
 Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya. 

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup.

2.4.2. Perkawinan Eksogami

Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minangkabau dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.
 Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan. Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah eksogami. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif).
Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga marga yang sama, disebut eksogami marga. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari nagari yang sama, kita sebut dengan eksogami nagari. Adat Minangkabau menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah serumpun itu sama dengan samande, saparuik, sajurai, sasuku, ataukah  sasuduik. Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau.
Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan sasuduik. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa suku. Misalnya Suduik nan 5, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan endogami atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip eksogami yang dianut di Minangkabau. Tapi pengertian sarumpun sama dengan sasuduik ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari suduik nan 6 dan sama-sama berasal dari suku Caniago dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian serumpun yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.
Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam serumpun semakin sempit arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar nagari, bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.
 Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip eksogami matrilinial akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.                                                                                  

2.5.  Hukum waris
2.5.1.  Ahli waris
Sesuai dengan tertib susunan hokum ibu, maka ahli waris enurut adapt minangkabau di hitung dari garis ibu. Pengertian ahli waris ini baru muncul apabila telah harta peninggalan; jadi apabila ada seoang anggota keluarga yang meningal.
Seperti pada umumnya harta peningalan di minangkabau, dapat berupa :
1.      harta pusaka
2.      harta pencarian
terhadap hukum inilah yang nantinya akan di tentukan siapa-siapa ahli warisnya. Jika kita menghadapi harta pusaka sudalah terrang bahwa ahli warisnya adalah angota-angota keluarga di lihat dari garis ibu. Jika se orang ibu meningal maka ahli warisnya adalah pertama-tama anak-anaknya kemudian cucu-cucunya serta ahirnya keturunanya selanjutnya dari mereka ini di sebut : warih nan dakek (ahli waris yang dekat).
Apa bila seorang laki-laki yang meningalmaka waris nan dakeknya adalah dansanan kandung , yaitu saudaa laki-laki atau perempuan dari laki-laki tersebutyang seibu dan bapak. Dalam hal ini anak-anak dari saudara laki-laki tersebut bukanlah ahli waris, samalah hal ini dengan orang laki-laki meningal tadi apabila yang meningal seorang perempuan yang belum kawin semasa hidupnya,atau pernah kawin tetapi tidak mempunyai keturunan, maka ahli warisnya adalah pertama-tama dansanak kandungnya.
Akan tetapi jika warih nan dakek sudah tidak ada lagi, jadi sudah tidak ada keturunan lagsung dai si wanita yang meningal, maka sebagai ahli waris di cari warih nan jauah. Yang di maksud adalah angota keluarga yang sedaah di lihat dari garis ketuunan ibuakan tetapi yang tidak langsung keturunan dari wanita tersebut.

2.5.2. Persoalan-persoalan di bidang waris
Di bidang waris ini tetap menjadi persoalan yang ramai. Pengaruh hokum islam di dalam bidang ini nampak nyata, sehinga di antara ke dua garis itulah berada pemecahan persoalan-persoalan waris tersebut.
Akibat dari percampuran kedua hokum tersebut , tumbuhlah pesoalan-persoalan yang serius. Perselisihan-perselisihan, pertengkaan-pertengkaran, bahkan kadang-kadang sampai kepada perbuatan yang bersifat pidana; di minangkabau, sebagian besar berasal dari bidang waris ini.
Oleh karma itu tampaknya tendensi bahwa persoalan waris ini oleh orang minangkabau di pecahkan secara mufakat saja.
Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi mengenai masalah ini :
1.      harta tersebut langsung di peroleh anak-anaknya
2.      jatuhnya harta tersebut kepada anak-anaknya di gugat olehpara kamanakan. Jika hal tersebut tidak selesai dengan mufakat  maka pengadilanlah yang akan memutuskan.
3.      anak-anak yang memperoleh pusaka dari hibah ayahnya, memberikan sebagian harta tersebut kepada kamanakan si ayah secara rela.
Terlepas dari segala kemungkinan-kemungkinan terrsebut pada pokokn penyelesaiannya hal tersebut di atas didasai atas rundingan-rundingan yang keputusannya nanti di ambil atas dasar mufakat.
Mengenai pembagian waris kepada masing-masing ahli waris, kembali kembali beada dalam pemecahan persoalan secara kongkrit. Tidak seperti hokum islam di mana masing-masing ahli waris mendapat bagian-bagian yang sudah tentu menurut peraturan-peraturan dzawul-faraidh, maka ketentuan menurut hukum adapt minagkabau seperti aturan hukum islam itu pada asasnya tidak ada.


2.6.  Perkembagan ke arah susunan baru

Keadaan seperti yang telah kita bahas di atas adalah susunan masyarakat dan keluarga minagkabau menurut adat lamo pusako usang. Lama sudah susunan tersebut di pakaisebagai dasar kehidupan orang minangkabau, akan tetapi dengan berkembangnya zaman, dengan bertambahnya kebutuhan hidup ke arah yang lebih moderen susunan lama itu juga mengalami perubahan-perubahan.
Dengan berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, secara evolusi, terkadang dengan tidak di dasari oleh subyeknya sendiri, kehidupan hukum orang minangkabau telah berkembang ke arah susunan yang baru.
Di dalam menuju ke arah baru ini, dapatlah perkembangan tersebut kita tinjau dari dua segi yaitu:
1.      Di dalam segi yang pertama kita melihat susunan baru ini sebagai hasil dari ciptaan pemerintah, yang sama sekali tidak timbul dari kesadaran hukum rakyat sehinga susunan baru di dalam segi ini berada di dalam susunan hukum pemerintah.
2.      Sedangkan di dalam segi yang ke dua, yaitu di dalam segi ini kita akan menjumpai benar-benar perkembangan yang timbul dari kesadaran yang timbul dari rakyat itu sendiri, yang senangtiasa bergerak ke arah yang lebih maju.
Demikianlah, susunan baru di dalam segi yang pertama, adalah susunan buatan dari pemerintah provinsi sumatra tengah.
Di dalam segi yang terahir ini timbul dan dikehendaki serta di dasari oleh rakyat sendiri jadi di dalam suasana hukum rakyat yang seolah-olah menimbulkan adat baru.



BAB III
METODE PENELITIAN

Metode yang kami gunakan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini yang berjudul ‘’Penerapan Hukum Adat Minangkabau’’ dengan metode pustaka atau mengambil data dalam buku yang berkaitan dengan pembahasa mengenai karya tulis ilmiah kami.






BAB IV
HASIL PENELITIAN

Dari menganalisis data di atas, hasi dari penulisan karya ilmiah kami adalah bahwa dalam penerapan hukum adat minangkabau ini semuanya di dasari oleh ‘’Hukum Ibu’’ suatu peraturan yang di jalankan oleh masyarakat minangkabau sejak dulukala.
Dari dasar Hukum ibu inilah segala peraturan adat maupun istiadat masyarakat minangkabau tertata dengan baik, termasuk dalam peraturan seperti Hukum waris, hukum perkawinan, adat istiadat, susunan masyarakat, itu tertata atas dasar hukum ibu, dan dalam penerapan hukum minangkabau dalam menghadapi perubahan zaman itu dapat menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan jika ada permasalahan yang sulit untuk di selesaikan maka masyarakat minangkabau melakukan musyawarah dalm mencari jalan keluarnya.





BAB V
PEMBAHASAN PENELITIAN

Masakah yang ada dalam karya tulis ilmiah ini adalah bagaimana penerapan hukum adat minangkabau, bagaimanakah adat minangkabau, bagaimana sistim hukum adat minangkabau, bagaimana hukum adat minangkabau dalam perkembangan zaman?.
Semua pertanyaan itu telah terjawab oleh data yang kami kumpulkan di atas, seperti yang terjawab sebagaimana dalam penerapan hukum adat minangkabau itu harus mengikuti tertib hukum ibu sebagai landasan dasar, dan dalam adat minangkabau itu di bagi menjadi empat yaitu Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat), Adat nan di adatkan, Adat nan teradat, Adat istiadat, dalam sistem hukum adatnya pun telah di bahas sebagaimana dalam pembahasan ke empat susunan adat tersebut, dan sudah di jelaskan juga bahwa dalam menghadapi perkembangan zaman hukum adat minangkabau dapat menyesuaikan sesuai perkembangan zamanya, seperti dalam penyelesaian sengketa yang sulit di selesaikan seperti ynag kita bahas di atas, bahwa pencarian jalan keluarnya dapat mengunakan sistim musyawarah.







BAB VI
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Kesimpulan dari karya tulis ilmiah ini adalah :
1.      Dalam penerapan hukum adat minangkabau ini di sesuaikan dengan hukum ibu.
2.      Dalam zaman yang serba moderen penerapan hukum minangkabau sangatlah menyesuaikan akan perkembangan zaman tersebut.

2.      Saran
Dalam mempelajari hukum adat agar lebih mudah dan cepat mengerti kami menyarankan agar mencari inti dari suatu hukum adat itu, agar dalam pemahaman berikutnya lebih mudah di mengerti.