Pages

Foto 1

kenangan ketika masih nyantri di PPDM lamongan.

Foto 2

Festifal Teater di kabupaten lamongan.

Foto 3

Foto bareng mahasiswa fakultas syariah iain sunan ampel surabaya.

Foto 4

Kenangan Kegiatan yang lalu.

Foto 5

HUKUM.

Sabtu, 24 Maret 2012

NEGARA TOTALITER

 Negara  Totaliter

Istilah totaliter berasal dari bahasa Latin totus, yang berarti seluruh atau utuh. Totaliter ini dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak negara terhadap hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. Kendali pemerintahan biasanya diserahkan kepada satu partai politik dan umumnya dipimpin oleh seorang diktator.
Dalam sistem pemerintahan totaliter, hak individu boleh dikatakan tidak ada. Individu dipandang sebagai hamba negara yang tidak memiliki kebebasan memilih atau bersuara. Pada umumnya peprintahan yang berkuasapun jarang memberi kesempatan kepada masyarakat atau kelompok-kelompok untuk berkumpul, seperti serikat buruh, partai politik, dll.
Rezim totaliter dapat disamakan dengan rezim tradisional pra-demokrasi yang otoriter atau otokratis. Pemerintah otoriter cenderung mempertahankan kekuasaan dari satu orang saja serta cenderung mempertahankan struktur sosial tradisional dan bekerja melalui garis wewenang yang ada. Yang umum terjadi dalam pemerintahan totaliter, dalam upaya menindas atau mengintimidasi individu dan atau kelompok lawan, biasanya mereka menggunakan tatktik teror yang dilakukan oleh tentara atau polisi. Dalam negara yang totaliter, media masa hanya berfungsi sebagai alat propaganda bagi penguasa.
Sosialisasi politik di negara totaliter merupakan indoktrinasi politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi politik.

Sistem pemerintahan totaliter ini dikenal sudah cukup lama dalam sejarah, tetapi baru mencapai puncaknya sekitar tahun 1920 – 11930, semasa zaman; Hitler, Stalin, Mussolini

Kamis, 22 Maret 2012

Hadish Pada Abad II,III,IV,V

Hadish Pada Abad II,III,IV,V


 I.               pendahuluan

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurân. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw
            Dalam makalah yang sederhana ini, pemakalah ingin sedikit menguraikan pelbagai fase perjalanan “pengkodifikasian” al-Hadits dan macam-macam metode pebukuannya.
II.          Pembahasan
A.             Keadaan Al-Hadits Pada Abad II
Setelah agama islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukandalam dewan hadits. Urgensi ini menggerakkan hati khalifah ‘Umar bin 'Abdul Aziz --- seorang khalifah bani ‘Umaiyah yang menjabat khaliafah antara tahun 99 sampai tahun 101 hijriah --- untuk manulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadits.[1] Dan pada masa ini dikenal dengan ashru al-Tadwin ( masa pembukuan ).[2]
Menurut Fatchur Rahman motif utama khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berinisiatif untuk mendewankan Al-Hadits adalah :[3]
a.      Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al-Hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir hilang dan lenyapnya Al-Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan hadits.
b.      Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Al-Hadits dari hadits-hadits maudlu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang sejak tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
c.       Alasan tidak terdewannya Al-Hadits secara resmi di zaman Rasulullah saw. Dan Khulafaur Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Quran, telah hilang, disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mush-haf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah di hafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
d.      Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara oarang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli hadits, maka saat itu juga konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Al-Hadits dan memelihara Al-Hadits dari bercampuranya dengan hadits-hadits palsu, ‘Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pada seluruh pejabat dan ‘ulama yang memegang kekuasaan di wilayah keuasaannya untuk mengumpulkan Al-Hadits. Intruksi itu berbunyi:
  أنظروا إلى حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجمعوا
“Telitilah hadits Rasulullah saw  kemudian kumpulkan !”
Beliau menginstruksikan kepada walikota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’iy wanita, ‘Amrah binti abdu al-Rahman.
 أكتب إلي بما ثبت عند ك من حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحد يث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه.
“Tulislah hadits untukku, hadits Rasulullah saw. Yang ada padamu dan hadits ‘Amrah (binti Abdul Rahman). Sebab aku takut hilangnya dan punahnya ilmu.”  (riwayat Ad-Darimi)
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada ‘Amrah, tabi’i wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a. Juga beliau mengintruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang Imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam(124 H). Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masin-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah orang yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadist yang ke dua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah. Bangunlah ulam-ulama hadist dalam periode ini:
1.      Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (wafat 150 H) sebagai pendewan hadist di Mekah,
2.      Maumar bin Rasyid (wafat 153 H) sebagai pendewan di Yaman,
3.      Abu Amar Abdul Rahman  Al-Auza’i (wafat 156 H) sebagai pendewan hadist di Syam,
4.      Muhammad bin Ishaq (wafat 151 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
5.       Imam Malik bin Anas (179 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
6.      Sa’id bin Abi Urubah (wafat tahun 151) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
7.      Rabi’ bin Subaih (wafat tahun 160) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
8.      Hammad bin Abi Salamah (wafat 176 H) sebagai pendewan hadist di Bashrah.
9.       Abu Abdullah Sufyan As-Tsauri (wafat 161 H) sebagai pendewan hadist di Kufah,
10.   Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H) sebagai pendewan di Khurasãn,
11.  Husyaim bin Basyir (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Wasit,
12.  Jarir bin Abdul Hamid (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Raih,
13.  Al-Lais bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) sebagai pendewan di Mesir.[4]
B.        Pereode Penyaringan Al-hadist (Abad III)
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Al-Hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha membukukan hadist Rasulullah semata-mata. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksuk hendak menodai agama islam.[5]
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1.      Shahih al-bukhari atau jami’u al-shahih. Karya muhammad bin ismail al-bukhari (194-256 H.)
2.      Shahih al-muslim, karya al-imam muslim bin hajjaj bin muslim al-qusyairy (204-261 H.)
3.      Sunan abu dawud , karangan abu dawud sulaiman bin al-asy’as  bin ishaq al-sajastani (202-275 H.)
4.      Sunan al-tirmidzi, karangan abu isa muhammad bin isa bin surah al-tirmidzi (200-279 H.)
5.      Sunan al-nasa’i, karangan abu abdu al-rahman bin suaid ibnu bahr al-nasa’iy (215-302 H.)
6.      Sunan ibnu majah, karangan abu abdillah ibnu yazid ibnu majah (207-273 H.)
C.        Pereode Penghafalan Al-Hadits (Abad IV)
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, al-hadits berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan al-hadits yang telah didewankan oleh ulama mutaqaddimin ( ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama muta-akhkhirin (ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai beratus-ratus ribu hadits. Sejak pereode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian  dalam ilmu hadits, seperti gelar keahlian al-hakim, al-hafidh[6].
Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara ulama mutaqaddimin, yang dalam menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama muta-akhkhirin yang dalam usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadts, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Tetapi dalam abad IV ini masih terdapat ulama-ulam hadits yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk menghimpun hadits atas usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab hadits yang sudah ada sebelumnya, miskipun jumlahnya tidak banyak, di antaranya adalah:[7]
1.      AL-HAKIM. Beliau banyak karangannya, antara lain: al-mustadrak ‘ala al-Shahihain.
2.      AD=DARUQUTNI (wafat tahun 385 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Ilzâmât.
3.      IBNU HIBBAN (wafat tahun 354 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Musnad al-Shahih atau al-Anwa’ wa al-Taqâsîm.
D.     PEREODE MENGKLASIFIKSIKAN DAN MENSISTEMATISASIKAN SUSUNAN KITAB-KITAB HADITS( abad v dan seterusnya)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah  di tujukan untuk mengklasifikasikan Al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan (menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya.[8] Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami’ wa al-Tartib ( masa menghimpun dan menertibkan susunanya)[9]
E.      metode pembukuan hadits
metode pembukuan hadits pada awal mulanya masih bercampur antara hadits Nabi dengan perkataan para sahabat dan fatwa tabi’in.[10] Dan di antra kitab-kitab yang muncul pada masa itu adalah:
1.      Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik,
2.      Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,
3.      As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Mansur,
4.      Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaibah, dan
5.      al-Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadits di atas ini tidak sampai kepada kita kecuali Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Al-Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i.[11]
Dalam beberapa masa penulisan dan pembukuan hadits, ada beberapa macam kitab hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits.
1.      Al-ajza’/ al-juz, adalah kitab hadits yang menghimpun hadits pada satu topik masalah saja. Misalnya kitab al-faraid, oleh Zaid bin Tsabit (11-12 H/611/655 M). Metode ini termasuk paling awal digunakan dalam mengelompokkan hadits.
2.      Al-atraf adalah kitab yang menghimpun hadits hanya pada awal matannya saja, tanpa menyebutkan matan hadits seutuhnya. Misalnya kitab Atraf As-Sunnah, oleh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H)
3.      Al-mustadrak, adalah kitab hadits yang menghimpun tertentu yang memenuhi syarat hadits yang ditulis oleh imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya, misalnya kitab al-mustadrak ‘ala as-shahihain, oleh Al-Hakim al-Naisaburi.
4.      Al-mustakhraj, adalah kitab yang menghimpun hadits yang diambil dari salah satu kitab hadits dengan menggunkan sanad yang berbeda dengan sanad hadits  yang dirujuknya. Misalnya kitab al-mustakhraj, oleh muhammad bin ya’qub as-saibani an-naisaburi
5.      Al-jami’ adalah kitab yang menghimpun 8 pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi, akhlaq, serta perbuatan baik dan tercela). Misalnya: Al-Jami’ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtashar min Umurirrosulillah SAW Waayyamihi.
6.      Al-musnad adalah hadits yang penyusunannya didasarkan atas urutan nama sahabat yang meriwaytkan hadits. Misalnya Al-Musnad Ibnu Hambal
7.      Al-mu’jam adalah kitab hadits yang merupakan kamus besar yang di dalamnya memuat hadits berdasrkan nama sahabat, quru atau qabilah, atau menurut tempat hadits didapatkan yang diurutkan secara al-fabetis. Misalnya kitab Al-Mu;jam al-Kabir, Al-Mu’jam al-Wasit, Al-Mu’jam al-Shaghir oleh Imam at-Tabrani
8.      As-sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang di dalamnya bercampur hadits-hadits shahih, hasan, dan do’if, dengan memberi penjelasan pada hadits itu. Misalnya kitab Sunan at-Tirmdzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nas’i dan lain-lain.[12]
Selain beberapa metode pembukuan di atas, dengan bahasa yang berbeda para muhadditsin berusaha menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadits menggunakan  beberapa bentuk seperti: takhrij, tashnif dan ikhtishar.
1.      Takhrij
Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fi’il madlinya memakai kata akhraja, mempunyai tiga pengertian yakni:
1.1   suatu usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits karya orang lain menyimpang dari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab shahih bukhari, kemudian ia berusaha mencari sanad hadits tersebut yang tidak sama dengan sanad yang telah ditetapkan oleh bukhari dalam shahihnya. Namun sanad yang berbeda itu akhirnya dapat bertemu dengan sanad bukhari yang akhir. Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut akhirnya dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitaab yang demikian inilah yang disebut kitab mustakhraj. Misalnya:
a.      Mustakhraj Abu Nu’aim, karya Abu Nu’aim, adalah salah satu kitab takhrij hadits shahih bukhari.
b.      Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu kitab mustakhraj shahih muslim.
1.2   Suatu penjelasan dari penyusun hadits  bahwa hadits yang dinukilnya terdapat dalam kitab hadits yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya kalau penyusun hadits mengakhiri pada nukilan haditsnya dengan istilah akhrajahu al-bukhari, artinya ialah bahwa hadits yang dinukil oleh penyusun terdapat di dalam kitab shahih bukhari.
1.3    Suatu usaha menyusun hadits untuk mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab. Misalnya:
a.      Takhrij Ahadisi Al-Kasysyaf, karya Jamaluddin al-Hanafi, adalah suatu kitab yang mengusahakan dan mrnerangkan derajat hadits yang terdapat dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf, yang oleh pengarang tefsir tersebut tidak dijelaskan tentang shahih, hasan atau lain sebagainya.
b.      Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar, karya Abdu al-Rahim al-Iraqi, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali.
2.      Tashnif
Tashnif, ialah usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits)  dengan membubuhi keterangan mengenai kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekadarnya. Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya:
a.      Shahihu Al-Bukhari Bi Syarhi Al-Kirmani, oleh Muhammad ibn Yusuf al-Kirmani, merupakan salah satu syarah kitab bukhari.
b.      Al-Ikmal, oleh Al-Qadli ‘Iyadl, adalah salah satu di antara sekian banyak kitab syarah shahih muslim.
3.      Ikhtishar
Ikhtishar, adalah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab hadits. Yang diperingkas, biasanya, ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali. Di antara mukhtashar-mukhtshar shahih bukhari ialah kitab:
a.      Mukhtashar Al-Bukhari karya Abu al-Abbas al-Qurthubi, dan
b.      Mukhtashar Abu Jamrah, karya Ibnu Abi Jamrah.
Dan di antara mukhtashar shahih bukhari muslim ialah:
a.      Mukhtashar Al-Balisy, karya Najmuddin al-Balisy, dan
b.      Mukhtashar Al-Taukhi, karya Najmuddin al-Taukhi.
Perbedaan antara kitab mustakhraj dengan kitab mukhtashar  ialah, bahwa kitab mustakhraj itu tidak perlu adanya penyesuaian lafadh dengan kutab yang ditakhrijkan, bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafadh dan kadang-kadang juga terdapat perubahan yang sangat menonjol sehingga mengakibatkan perbedaan arti. Sedangkan di dalam kitab mukhtashar  tidak boleh ada tambahan (lafadh dari penyusun sendiri) yang sebenarnya tidak ada dalam kitab yang diikhtisharkan.
Kebanyakan para muhaditsin dalm menyusun kitab haditsnya memakai dua sistem:
Pertama: sistem bab—demi—bab.
Di dalam sistem  ini penyusun berusaha menghimpun hadits-hadits yang sejenis isinya dalam satu bab, kemudian hadits yang berisikan masalah-masalah sejenis yang lain, dikumpulkan dalam bab yang lain pula.
Adalah lebih praktis lagi kalau penusun memberikan ciri-ciri pda susunannya hadits tersebut tersebut dalam satu lapangan tertentu dari cabang ilmu agama, seperti kitab:
a.      Bulughu al-Maram, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani
b.      Umdatu al-Ahkam, karya Abdu al-Ghani al-Maqdisi, adalah dua buah kitab yang mengandung hukum-hukum.
c.       Riyadlu al-Shalihin, karya Imam al-Nawawi, adalah kumpulan kitab hasits targhib dan tarhib (anjuran berbuat baik dan pencelaan berbuat noda). Kendatipun dalam kitab ini juga dicantumkan juga hadits-hadits mengenai hukum, namun dalam pembahasannya bertendensi targhib dan tarhib.
d.      Tuhfatu al-Dzakirin, karya Al-Syaukani adalah merupakan hadits doa yang cukup luas isinya.
Kedua: sistem musnad
                        di dalam sistem ini penyusun mengatur secara sistematis (tertib)  mulai dari nama-nama sahabata yang lebih  utama beserta seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta haditsnya, dan akhirnya deretan nama-nama sahabat yang lebih rendah derajatanya beserta hadits-haditsnya. Misalnya dalam kitab tersebut  dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a. dengan menyebut seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan nama ‘Umar r.a. dengan mencantumkan hadits yang beliau riwayatkan, dan seterusnya nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Abu Bakar dan ‘Umar r.a. dengan seluruh haditsnya.
                        Dapat pula dimasukkan dalam sistem ini ialah jika penyusun mendahulukan hadits-hadits dari qabilah yang lebih tinggi martabatnya kemudian hadits-hadits dari qabilah-qabilah yang lebih rendah derajatnya daripada yang pertama. Umpamanyan hadits-hadits dari qabilah Bani Hasyim  dicantumkan lebih dahulu, kemudian disusul dengan hadits-hadits dari qabilah   yang bernasab dekat kepada nabi muhammad saw. Dan akhirnya hadits-hadits dari qabilah yang bernasab jauh kepada beliau.[13]

  III.               Simpulan
Dari uraian di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang kita nikmati dari kitab-kitab hadits susunan para ulama, ternyata memliki perjuangan yang sangat besar, dan melalui pelbagai pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan “terimakasih belaka, penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata. Paling tidak mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami hadits ataupun metode pemahamannya.



Daftar Pustaka
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahl Hadits,tt. Bandung: PT Alma’rif. H. Zuhdi, Masjfuk , 1993, Pengantar Ilmu Hadts, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ensiklopedi Hukum Islam/editor Abdul Aziz Dahlan... (et. al). 1996. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
 Khon, Abdul majid. 2009, Ulumul hadis, cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika Offset

Minggu, 18 Maret 2012

CHAIRING A SESSION

-->
CHAIRING A SESSION
In a meeting, there must be a person who chairs the session. In the future, you might be apointed chair or master of ceremony(MC). The following phrase and expressions may help you chair the meeting appropriately.
1.      Introducing the topic
Ladies and gentlemen.

Our session now will deal with the topic “.........................” to be presented by ................from............
Our session is now going to discuess the topic “....................” to be presented by ................from................
Ladies and gentlemen
Our session now will deat with the topic “the importance of implementing moral education in indonesia” to be presented by the honourable professor Ridlwan nasir, the rector of state institute for islamic studies.
2.      Inviting the presenter/ speaker
Ladies and gentlemen
I’d like now to call upon/invite Mr/Mrs/Miss/Dr/Professor........... to procede to the stage please.
I’d like now to call upon/invite Mr./,Mrs/Miss/Dr/Professor..........to present his/her paper. Mr/Mrs/Miss/Dr/Professor...is kindly requested to preceed to the stage, please.
3.      Introducing the presenter/speaker
Ladies and gentlemen
Mr/Mrs/Miss/Dr.......is a professor/an instructor at IKIP Bandung. He or she has earned his bachelor/sarjana/master’s/doctor/ degree from.......
Currently, he/she/is a full time instructor/chairman of the department/vice/dean/ dean/vice rector/rector/deputy dean/and he/she/has published..............he has been involved in...at..level.
Example of introducing the presented speaker
Ladies and gentlemen
Dr. Fuad abdul hamied is lecturer at universitas pendidikan indonesia bandung. He is chairman of to english department, faculty of languge and art education, universitas pendidikan indonesia bandung. He is also the chairman of the office of international education and relationship, and had published severai books on education. He has been involved in the national committe for curriculum development at the national level.


4.      Inviting the speakers to prsent his/her paperes
Ladies and gentlemen
I’d like now to call upon/invite.Mr/Mrs/Miss/Dr/Professor.......to present s his/her main points in his/her paper for 15 to 20 minutes and afterwards we’ll spend the rest of the time, 25 to 30 minutes for questions and answer Mr/Mrs/Miss/Dr/Professor....please
Example of inviting the speaker to present his/her paper
Ladies and gentlemen
I’d like now to call upon Dr. Nur mukminatien to present her main points in her paper for 15 to 20 minutes and afterwards we’ll spend the rest of the time  25 to 30 minutes for questions and answer.Dr nur mukminatien. Please.
5.      Inviting the floor to put forward questions or comments.
Ladis and gentlemen
We now still have.............minutes for our session,and i’d like to invite questions and comments from the floor on what has been presented to you ask questions and make comments.
6.      Closing the session.
Ladies and gentlemen
We are running our of time. On behalf of all the participants in this session, i’d like to extend my appreciantion and thanks to Mr./Mrs./Miss. Dr.  .............for a lucid/ informating presention. He/ she deservers a big applause, then. Thanks you.
7.      Giving out/ delivering token of appreciation
Ladies and gentlemen
On behalf of the committee member and as a symbol of gratiude, we’d like to present a token of apprection to the speaker. I’d like to request Mr./Mrs./Miss. ..................to present..............to Mr./Mrs./Miss. ...............
8.      Announcing information
Ladies and gentlemen
The next session will still be in this room or in room. .......... and will be chaired/ presided over by...............
Or we’ll have a coffee break for about................ minutes be for the next session starts. Coffee and refreshments are available for all participantsin room............... thank you. Or the session will adjoum for praying and luncih/ dinner until .............o’clock. lunch/ dinner. Will be served at.......... o’clock in room...........