Pages

Foto 1

kenangan ketika masih nyantri di PPDM lamongan.

Foto 2

Festifal Teater di kabupaten lamongan.

Foto 3

Foto bareng mahasiswa fakultas syariah iain sunan ampel surabaya.

Foto 4

Kenangan Kegiatan yang lalu.

Foto 5

HUKUM.

Rabu, 30 Januari 2013

studi kasus


STUDI KASUS
PENYELESAIAN KASUS PIDAN KORUPSI DUA KEPALA DESA DI KABUPATEN BOJONEGORO MENURUT HUKUM POSITIF DAN PERSPEKTIF PERADILAN ISLAM
Untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kulia
 “Peradilan Islam”
Oleh :
Ahmad Zakariyah
NIM : C73211075

Dosen Pembimbing :

M. Hasan Ubaidillah, SH., M.Si
NIP.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN SYASAH JINAYAH
SURABAYA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dalam sebuah pegadilan memiliki berbagai system dalam menjalankan suatu peradilan, dan memiliki pedoman yaitu hukum positif yang mengiringi dalam setiap pengambilan putusan. Di Negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama  islam yang taat akan syariat agama, tentu dalam penyelesaian permasalahan haruslah berdasarkan keyakinan mereka sebagai penganut agama islam jikalau mereka ada permasalahan atau sengketa.

 Dimana kita harus sebentar menoleh kebelakang untuk mempelajari bagaimana hukum islam, atau putusan penyelesaian delik kaum muslim pada peradilan islam yang lampau, untuk mencari hikmah atau sesuatu yang berharga yang bisa diterapkan pada peradilan di Indonesia, agar tinggkat keadilan yang di terapkan hukum di Indonesia dapat maksimal.

Dalam tindak pidana korupsi yang begitu banyak di lakukan oleh pejabat tingkat tinggi sampai tingkat bawah mengharuskan bagi lembaga yang menangani korupsi (KPK) harus bekerja extra untuk mencegah timbulnya/lebih banyak lagi bermunculan kasus korupsi. Yang berakibat merugikan Negara.

Namun dalam peradilan islam ada sebuah lembaga yang khusus berwenang dalam menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh pejabat Negara. Termasuk kalau pejabat itu berkorupsi uang Negara. Nama lembaga itu adalah lembaga madzlalim.

Dalam studi kasus ini kami akan menjelaskan tentang bagaimana menjatuhkan hukuman yang pantas untuk seorang yang terpidana korupsi, yang telah di jelaskan oleh undang-undang anti korupsi atau undang-undang Negara lainya yang menyangkut tindak korupsi. Tak tertingal kami juga akan menjelaskan bagaimana penjatuhan hukuman korupsi dari sudut persepektif peradilan islam.  

1.2. Rumusan Masalah

 Dari penjelasan latar belakang masalah di atas dan judul yang kami angkat, masalah yang kami bahas adalah bagaimana penyelesaian kasus pidana korupsi dengan menggunakan hukum positif dan juga dalam perspektif peradilan islam.














BAB II
PENYELESAIAN KASUS
2.1. Awal kasus korupsi kepala Desa
Hukum semakin ketat di Indonesia, tetapi bukan berarti Negara kita minim tindakan kejahatan dan penyelewengan terutama tindak pidana korupsi, sudah menjadi rahasia umum jika sekarang banyak sekali pejabat-pejabat Negara yang melakukan pelanggaran korupsi, dari tingkat pusat maupun daerah-daerah sampai perdesaan di seluruh Indonesia.

Kepolisian Resor Bojonegoro menetapkan dua orang kepala desa di Kecamatan Malo sebagai tersangka kasus korupsi dana Bantuan Penanggulangan Padi Puso (BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011.

Dua orang tersangka tesebut adalah Kepala Desa Kacangan berinisial SS dan Kepala Desa Sarirejo berinisial SA. Kedua kepala desa tersebut awalnya di tetapkan sebagai tersangka setelah diperoleh cukup bukti bahwa keduanya menyelewengkan dana yang menjadi hak petani, di Desa Kacangan disalurkan dana senilai Rp 148 juta untuk sekitar 30 petani. Sedangkan di Desa Sarirejo Rp 325 juta. Jumlah yang diberikan kepada petani bervariasi. Sesuai dengan petunjuk pelaksana program BPPP, minimal Rp 3,5 juta per hektare. Tapi, uang tersebut tidak sampai ke petani, melainkan ke kepala desa.

Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, ditemukan sejumlah penyimpangan. Temuan polisi juga dilengkapi data dari petugas pemantau lapangan di Kecamatan Malo. Laporan keuangan dari dua desa tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Polisi belum menahan dua kepala desa tersebut. Tapi, aparat Polres Bojonegoro dan Polsek Malo terus memantaunya. Sebab, keduanya masih akan dimintai keterangan karena polisi masih terus mengembangkan penyelidikannya. Tidak tertutup kemungkinan ada kepala desa lain yang melakukan perbuatan serupa karena dananya cukup besar.

Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro, Subekti, menjelaskan dana BPPP diperuntukkan bagi petani yang mengalami puso akibat banjir pada 2011. Keseluruhan bantuan berjumlah sekitar Rp 37 miliar untuk 560 kelompok tani yang beranggotakan 30 hingga 60 orang. Pemberian bantuan langsung ditransfer ke rekening petani.

Dinas Pertanian maupun petugas lapangan tidak ikut campur tangan dalam mengurus bantuan. Bahkan, petugas lapangan hanya menangani pekerjaan yang bersifat teknis pertanian.

2.2. Menurut hukum positif
Di dalam undang-undang mengenai anti korupsi kedua kepala desa tersebut terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Pasal 18 UU No 31/1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.20 tahuin 2001 Pasa        l 55 ayat (1) ke 1 Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dinilai terbukti melakukan korupsi dana Bantuan Penanggulangan Padi Puso (BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011. di Desa Kacangan disalurkan dana senilai Rp 148 juta untuk sekitar 30 petani. Sedangkan di Desa Sarirejo Rp 325 juta. Jumlah yang diberikan kepada petani bervariasi. Sesuai dengan petunjuk pelaksana program BPPP, minimal Rp 3,5 juta per hektare. Dengan tuntutan 4 (empat) tahun penjara kepada kedua kepala desa dan denda untuk kepala desa kacangan Rp. 100 juta. dan untuk kepala desa sarirejo Rp.200 juta.





2.3. Menurut perspektif peradilan islam
Dalam perspektif peradilan islam tindak pidana korupsi termasuk kewenangan lembaga madzlalim untuk menyelesaikan perkara korupsi, yang mana lembaga ini khusus menyelesaikan perkara yang di lakukan oleh pejabat Negara. Dalam kasus ini lembaga madzlalim berpedoman dari salah satu ayat al-Qur’an dalam surat al-baqarah : 188 yang menjadi delik pekara korupsi :

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”

Islam mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim yang mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem pengawasan administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat.

Korupsi adalah merupakan bentuk pelanggaran dari sisi UU Negara maupun syri’at agama. meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya ialah mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, dan lain sebagainya. Maka perbuatan tersebtu termsuk dalam jarimah ta’zir yang penting. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan oelh ahmad dan tirmizy, yang artinya :

Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy).

Sebagai aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuan ta’zir atas perbuatan maksiat apabila dikehendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir tidak mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal tersebut tergantung pada sifat-sifat tertentu, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut merugikan kepentingan dan ketertiban umum, dan apabila perbuatan tersebtu telah dibuktikan didepan pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya. Perjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini merujuk terhadap perbuatan rasulullah saw, dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta setelah diketahui buktinya ia tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya. Syariat islam sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk ta’zir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang seberat-beratnya.

Penerapan sepenuhnya diserahkan terhadap kholifah (penguasa) karena dalam peradilan yang di jalankan lembaga madzlalim kholifahlah yang menjadi pemutus hukuman atau seseorang yg di tunjuk untuk mewakilinya dalam menjadi hakim lembaga madzlalim itu sendiri, dengan kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1.      Menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2.      Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat pelakunya.
3.      Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa adil.
4.      Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama kedudukannya didepan hokum.

Seorang kholifah dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi hukuman oleh nash, seorang kholifah tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, akan tetapi perampasan dan penghianatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi yang bisa berakibat hukuman mati pagi pelaku.

Tetapi kalau yang melakukan korupsi itu adalah kepala desa. Menurut saya dalam perspektif peradilan islam jikalau saya yang menjadi pengganti kholifah dalam memutuskan hukuman apa yang pantas untuk ke dua kepala desa tersebut, saya akan meminta kembali dana atau uang yang mereka korupsi kembali dan memberikan hukuman cambuk didepan umum atau masyarakat desa agar menjadi contoh, dan memasukanya kedalam penjara. Karena dalam tindak korupsi yang dilakukan oleh kedua kepala desa tersebut, tidak sampai menimbulkan  jatuhnya Negara atau kerisis yang sanggat besar, yang jika itu terjadi pelaku bisa saya hukum mati karna temasuk pengkhiyanatan kepada Negara.









BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas megenai bagaimana penyelesaian atau penjatuhan hukuman yang tepat bagi kedua kepala desa yang melakukan  korupsi dana Bantuan Penanggulangan Padi Puso (BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011. Yaitu jika kita menjatuhkan hukuman yang berpegang pada Undang-undang maka Dengan tuntutan 4 (empat) tahun penjara kepada kedua kepala desa dan denda untuk kepala desa kacangan Rp. 100 juta. dan untuk kepala desa sarirejo Rp.200 juta.
Tetapi jika dalam sudut pandang perspektif peradilang islam untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku korupsi tidaklah muda maka dari itu lembaga madzlalim yang bertugas menangani masalah tersebut menjatuhkan hukuman Ta’zir. Ta’zir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sangsinya didalam nash.dalam hal ini kholifah sebagai pemutus hukuman, di berikan kewenangan penuh untuk memberikan hukuman yang pantas atau sepadan dengan apa yang pelaku perbuat.
Kalau dalam pendapat saya dalam perspektif peradilan islam jikalau saya yang menjadi pengganti kholifah dalam memutuskan hukuman apa yang pantas untuk ke dua kepala desa tersebut, saya akan meminta kembali dana atau uang yang mereka korupsi kembali dan memberikan hukuman cambuk didepan umum atau masyarakat desa agar menjadi contoh, dan memasukanya kedalam penjara. Karena dalam tindak korupsi yang dilakukan oleh kedua kepala desa tersebut, tidak sampai menimbulkan  jatuhnya Negara atau kerisis yang sanggat besar, yang jika itu terjadi pelaku bisa saya hukum mati karna temasuk pengkhiyanatan kepada Negara.