Definisi Hadis
Shahih
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ
وَلاَ عِلَّةٍ
Hadis
sahih adalah hadis yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang
yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir
sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.
hadis sahih adalah hadis yang mengandung syarat-syarat
berikut;
1. Hadisnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah
(cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadis tersebut
dinisbahkan kepada nabi saw dengan disertai sanad.
Sanadnya bersambung, bahwa setiap (periwayat) dalam sanad
mendengar hadis itu secara langsung dari gurunya
Para rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam
sanad itu memiliki sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil
dan dhabith?
Adil adalah sifat
yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta
menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah[2
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari
gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya akan
menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dlabith
ini ada dua macam, yaitu;
1. Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk
menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal
dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan
hadis itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar
dari gurunya[3].
2. Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari
kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang
telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli
dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab
yang terpercaya kesahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari
tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab
lainnya.
Tidak ada syadz. Syadz secara bahasa berarti yang
tersendiri, secara istilah berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat bertentangan dengan hadis dari periwayat lain yang lebih kuat
darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian
tersendiri, Insya Allah.
Tidak ada illah, Di dalam hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang
merusak kesahihan hadis. Tentang hadis mu’allal (cacat) juga akan
dibahas dalam bagian tersendiri[4].
Contoh Hadis Sahih
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya j.4 h.18, kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min
al-jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي
قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia
berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata,
Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari
kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon
kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon
kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadis tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai
hadis sahih, karena.
1. Ada sanadnya
hingga kepada Rasulullah saw.
2. Ada persambungan
sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah
seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan
(ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara mendengar dari
Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari ayahnya.
Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah
mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah
mendengar hadis ini dari gurunya.
3. Terpenuhi
keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad,
mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang
mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a. Anas bin Malik
ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw semua shahabat dinilai
adil.
b. Sulaiman bin
Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
c. Mu’tamir, dia siqah
d. Musaddad bin
Masruhad, dia siqah hafid.
e. Al-Bukhari
–penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia
dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul
mu’minin fil hadis.
4. Hadis ini tidak syadz
(bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5. Hadis ini tidak
ada illah-nya
Dengan demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi
syarat-syarat hadis sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di
dalam kitabnya ash-Shahih.
Hadis Sohih Lighairihi
الْحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ
أَقْوَى مِنْهُ، وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ
مِنْ ذَاتِ السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadis hasan lidzatihi apabila diriwayatkan
dari jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadis
shahih lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri,
tetapi karena bergabung dengan sanad yang lain[5].
Diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat; Maksudnya adalah ada riwayat dengan
sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan yang lebih kuat; yaitu hadis sahih
lidzatihi
Dinamakan hadis shahih lighairihi; menjadi hadis sahih
karena bergabungnya dua jalan.
Keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri; Maksudnya ketetapan-nya sebagai
hadis sahih tidak didasarkan pada satu sanad saja, melainkan karena
digabungkannya dengan sanad yang lain yang sama atau lebih kuat.
Hadis Hasan
Definisi
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ
بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ
حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadis yang memenuhi syarat
sebagai hadis sahih , hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang
atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi
hal itu tidak sampai mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan
berhujjah dengannya.
Hadis seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan
Definisi
Hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih. Dalam hal ini syarat hadis sahih
adalah;
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda
antara keduanya. Rawi hadis hasan tingkat dlabthnya berada di
bawah kualitas rawi hadis sahih. Periwayat hadis hasan biasanya disebut
dengan istilah, shaduq (jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah
yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham
(jujur tetapi diragukan)
Contoh hadis hasan; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah
‘ala Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ
جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ
بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ،
وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda;
“kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinya, atau
menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar” Hadis ini
sanadnya hasan.
Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin
Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin
al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan,
bahwa ia adalah shaduq.
الضَّعِيْفُ الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadis dla’if yang ringan
kedla’ifannya, apabila jalannya banyak
مَا كَانَ ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu
dikuatkan dengan hadis yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan
Definisi
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya; yaitu hadis yang datang dengan
sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’
atau lebih yang semisal atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh
al-Bazar di dalam kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’
az-Zawaid (10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7),
Abdul Ghina al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ
قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ
فِي فَضَائِلِ رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin
Malik, ia berkata; Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga
kemudian mengucap, “Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”……
Hadis tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah bin Wardan adalah rijal yang dla’if,
dalam hal hafalan, dia meriwa-yatkan beberapa hadis dari Anas bin Malik yang
tidak sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah,
hanya saja kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Hadis ini diikuti oleh Tsabit
al-Banani, yang juga meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (h.4).
Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan yang ringan juga. Di
dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il, yang hafalannya juga
lemah.
Dengan bergabungnya dua jalan ini, hadis tersebut menjadi hasan.
Hadis Dhaif
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat
(yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari
syarat-syarat (hadis sahih)
syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah dibahas,
antara lain;
1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2. Sanadnya bersambung
3. Rawinya ‘adil dan dlabith
4. Tidak mengandung syadz
5. Tidak ada illah
Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis; Apabila hilang syarat yang pertama,
maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi saw, melainkan disandarkan
kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama
yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu
dinamakan mursal.
Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang
ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’,
dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka
hadis tersebut disebut dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang
disebabkan oleh kelemahan rawi.
Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz
atau matruk
Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu
dinamakan mu’allal.
Pembagian Hadis Dla’if.
Hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya
dapat dibagi menjadi dua bagian;
1. Hadis
yang kedla’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan
hadis yang setingkat dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat
menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang
yang dla’if yang masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi
argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya
terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadlis.
2. Apabila
tingkat kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’
(pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk
karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain
yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if
berat, dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan)
adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali
(69) dengan jalan;
عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ
الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ
كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah
menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia
berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui
tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain
tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu
Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad
berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang
paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari
berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai
pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut
melalui sanad ini adalah maudlu’, karena kedla’ifan
periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh hadis Dla’if berat yang
disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang
dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252)
dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ
أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ،
فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah
menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah
al-Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah
saw membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian
(memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa
(makanan) yang panas tidak ada berkahnya.
Di dalam sanad hadis ini,
Muhammad bin Ubaidullah al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan
hadisnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih
tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari
hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan
oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.
Mursal
مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para
tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi
saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah
saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di
hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan
tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf
(5281)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’,
bahwasannya Nabi saw apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke
orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum”
Atha’ dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang
tabi’in besar, ia mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya
dari Rasulullah adalah mursal.
Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah
merupakan bagian dari hadis dla’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah
ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat
kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan
hadis mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan
riwayat yang setara kedla’ifannya atau lebih sahih darinya[6] selama riwayat tabi’nya ini
tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat
yang pertama.
Sebagian
Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal
yang paling sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat
secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia
menirsalkannya dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal
yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih
dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi saw, maka kebanyakan hadis mursal
dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
Gambar
3:
Skema
Hadis Mursal
Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi
Gambar
3:
Skema
Hadis Mursal
|
Telah kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya
suatu hadis adalah para rawi memiliki sifat ‘adalah dan dlabth.
Dan juga telah kita bicarakan bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa
seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi
perbuatan buruk, seperti syirik, fasik dan bid’ah. Cacat pada
keadilan disebabkan oleh empat hal, yaitu
a. Dusta
b. Tertuduh
berdusta
c. Tidak
dikenal (Jahalah)
d. Bid’ah
Pada bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis
yang tertolak karena cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya
–atau sebagian di antara para rawinya.
Hadis Dla’if karena Kelemahan pada Kedlabithan Rawi
Dlabt, sebagaimana yang telah didefinisikan terdahulu adalah kemampuan seorang
rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan
hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam bentuk sebagaimana yang
telah dia dengar dari gurunya
Dan telah kami sebutkan bahwasannya dlabth merupakan
salah satu syarat kesahihan hadis, apabila rawi mengalami sedikit
kekurangan pada akurasinya (dlabth) dibandingkan dengan periwayat hadis
sahih, maka hadisnya menjadi hasan.
Adapun apabila kurangnya akurasi menyebabkan banyaknya
kesalahan di dalam periwayatan maka hadisnya menjadi dla’if yang
tertolak.
Akurasi periwayat diketahui dari kesesuaiannya dan
perselisihannya dengan rawi lainnya yang siqah. Apabila riwayat
seorang rawi sesuai dengan riwayat para rawi yang siqah,
bahkan hampir tidak ada perbedaan, maka ia dikatakan dlabith, dan dia
termasuk rawi yang sahih.
Apabila kesesuaiannya terdapat pada kebanyakan riwayatnya,
dan ada beberapa riwayat yang berbeda dengan periwayatan rawi yang siqah,
maka derajat periwaya-tannya ada di bawah derajat sahih, dan hadisnya
diketegorikan hadis hasan.
Apabila perbedaan riwayat lebih banyak terjadi dari pada
kesamaannya maka ia menjadi dla’if, dan hadisnya tertolak, kecuali
apabila ada tabi’nya. Dengan adanya tabi’ maka hadisnya menjadi hasan,
sebab adanya akumulasi jalan sanad[7].
Apabila seorang rawi terbiasa berbeda dengan
periwayatan rawi yang sahih, dan sangat sedikit kesamaannya maka ia
dikatakan banyak kesalahan, sehingga hadisnya matruk dari segi
hafalannya.
Hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi semacam ini
–yang sedikit dlabthnya- dikelompokkan menjadi bermacam-macam tingkat
sesuai kadar kelemahannya, Jenis-jenis inilah yang akan kami jelaskan pada
bab-bab selanjutnya.
1.
Maudlu’
مَا كَانَ رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ
Apabila rawinya
pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].
Rawinya pendusta,
maksudnya salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya
dianggap dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi
qaidah maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di
dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.
Misalnya; hadis yang dikeluarkan
oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari
jalan
مُحَمَّدٌ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ
أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي
إِلَى السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي
تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ
تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ
شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam,
Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari
Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke
langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia
kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa
terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?”
bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad
bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah
memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57).
Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh Hadis yang dikeluarkan oleh
al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no. 2) dari jalan sebagai
berikut
عَنْ زِيَادُ بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ، لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ
كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin
Malik, ia berkata, Wahai Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab,
“Karena sebagai penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak
untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan”
Di dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad
bin Maimun al-Fakihi, ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap
hadis Rasulullah saw
Yazid bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata,
“Aku men-datanginya, lalu ia berkata, Astaghfirullah, aku telah
memalsukan hadis-hadis ini.
Hukum
meriwayatkan hadis maudlu’
Meriwayatkan hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali
untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya
dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh
orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.
Hadis maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq
(kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’
tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh
mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah
satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus
dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’.
Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah,
baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.
HADITS DARI SEGI
KUANTITAS
KUANTITAS
A. Pembagian
Hadits sari segi Kuantitas Perawi
hadits dibagi kepada dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
hadits dibagi kepada dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits
Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda
pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir.
Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan
ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat
Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi.
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi.
1. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah
perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah
Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang.
2. Al-Istikhari menetapkan
minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian
seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak
70 orang.
2. Adanya keseimbangan
antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan
jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam
mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits
Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah)
yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat,
kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi
sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah
rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang
sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir
‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah.
Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya
jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki
riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat
diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap
hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua,
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua,
1.
Masyhur dan
2.
ghairu masyhur.
3.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua,
1.
aziz dan
2.
ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus
shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang
memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits
ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang
berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan,
baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang
terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur
dikalangan ahli hadits, seperti hadits
yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama
satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim,
dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5) Masyhur
dikalangan ahli Sufi, seperti :
كُنْتُ كَنْزًا
مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur
dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan,
“Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari
golongan Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu,
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu,
1. Aziz dan
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau
jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang
dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2.Gharib.
Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu
hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir.
HADITS MUTAWATIR, AHAD DAN MASYHUR
HADITS MUTAWATIR, AHAD DAN MASYHUR
1. Hadits Mutawatir Dan Macam-macamnya
a.) Arti Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:”
beruntun atau beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan
yang lain tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ
ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ
ﻋﻥ ﻤﺜﻠﻬﻡ ﻤﻥ ﺍﻭﻝ ﺍﻠﺴﻨﺩ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ
Hadits mutawatir ialah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat, mustahil
mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,pada
setiap tabaqat atau generasi.
Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya
dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka
beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari
awal matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan
tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka
masing-masing, diantaranya ialah:
1. Ahli hadits mutaqaddimin,
tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu
pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah:
-
Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang
hanya membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.
-
Ilmu rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal
periwayatan hadits dan metode penyampaian hadits.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya
wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di amalkan,
sekalipun diantara perawinya orang kafir.
2. Ahli hadits mutaakhirin
dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir
jika memiliki kriteria-kriteria sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
b. Kriteria Hadits mutawatir
Adapun criteria yang harus ada dalam hadits mutawatir
adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi
Maksudnya secara umum sejumlah besar periwayat tersebut bisa memberikan
suatu keyakinan yang mantap bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, tanpa melihat berapa jumlah besar perawinya.
2. Adanya kesinambungan
antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi)
berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya
harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka
pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. akan tetapi jika
generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang,
kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan
seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa
keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting
yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan
itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya kebohongan dalam
menyampaika hadits.
3. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar
hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2. Macam-Macam Hadits Mutawatir
a. Mutawatir Lafzhi Dan Contohnya
Mutawatir Lafzhi ialah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ
ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi ialah
hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi jika ditemukan sejumlah besar perawi hadits
berkumpul untuk meriwayatkan dengan berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan
mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, maka nilai yang terkandung di
dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita bahwa hadits
tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah saw.
Contoh:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ
ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘Siapa saja yang
berbuat kebohongan terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah
Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam
memberikan komentar, diantaranya ialah:
-
Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat
secara marfu’
-
Ibnu Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat,
termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
-
Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini
diriwayatkan oleh 450 sahabat.
b. Mutawatir Ma’nawiy dan Contohnya
ﻫﻭ
ﺍﻥ ﻴﻨﻘﻝ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﻴﺴﺘﺤﻴﻝ ﻋﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻭﻗﺎﺌﻊ ﻤﺨﺘﻟﻔﺔ ﺍﺸﺘﺭﻜﺕ ﻓﻰ ﺍﻤﺭ ﻴﺘﻭﺍﺘﺭ
ﺫﻟﻙ ﺍﻟﻘﺩﺭ ﺍﻟﻤﺸﺘﺭﻙ
Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah kutipan sekian banyak
orang yang menurut adat kebiasaan, mereka mustahil bersepakat dusta atas
kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan
Maksudnya adalah hadits yang para perwinya berbeda-beda
dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh:
ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ
ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ
Rasulullah saw tidak mengangkat ke duatangan beliau dalam berdo’a selain
dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau sawmmengangkat tangannya tampak putih-putih
ke-dua ketiaknya.
ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ
2. HADITS AHAD
Definisi Hadits Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ)
, artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ ,atau
wahid ), Jadi khabar wahid adalah: ﻫﻭ
ﻤﺎ ﻴﺭﻭﻴﻪ ﺸﺨﺹ ﻭﺍﺤﺩ /
suatu habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah hadits ahad
ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ
ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ
Hadits yang tidak
mencapai tingkatan hadits mutawatir.
3. HADITS MASYHUR
Arti Masyhur
ﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺜﻼﺜﺔ
ﻔﺄﻜﺜﺭ ﻭ ﻠﻡ ﻴﺘﺼﻝ ﺩﺭﺠﺔ ﺍﻠﺘﻭﺍﺘﺭ
Hadits masyhur ialah
hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, selama tidak mencapai
tingkatan mutawatir.
Dalam menanggapi masalah ini, sebagian ulama mengatakan
bahwa hadits masyhur itu sama dengan hadits mustafidl. sedang
yang lain mengatakan berbeda, jika mustafidl perawinya berjumlah tiga
orang atau lebih sedikit,mulai dari generasi pertama sampai terakhir. Dan
hadits masyhur lebih umum dari pada mustafidl, artinya jumlah
perawi dalam tiap-tiap genarasi tidak harus sama atau seimbang, sehingga jika
generasi pertama sampai generasi ketiga perwinya hanya seorang, tetapi generasi
terakhir jumlah perawinya beanyak, maka hadits ini dinamakan hadits masyhur,
sebagai contoh:
- Hadits masyhur, ditakhrij imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar:
- ﻘﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﺍﻨﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺒﺎﻠﻨﻴﺎﺕ ﻭ ﺇﻨﻤﺎ
ﻟﻜﻝ ﺍﻤﺭﺉ ﻤﺎ ﻨﻭﻯ
Rasulullah saw bersabda sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu dengan niat
dan bagi tiap-tiap orang mendapatkan apa-apa yang telah ia niati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ma’shum Zein, Muhammad.MA, Ulumul
Hadits dan Musthalah Hadits, Jakarta, 2007
2. Ahmad, Muhammad. Drs – Mudzakir,
Muhammad. Drs, Ulumul Hadis, Bandung, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000
3. Mudasir.H,Drs. Ilmu Hadis,
Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999
[1]
Muqaddimah Ibni Sholah, h.11
[2]
Nuzhat
an-Nadhr, h.51
[3]
Ibid
[4]
Ibid,
h.52
[5] Taisir Mushthalah al-Hadits, Mahmud Thahhan, h.50,
dengan perubahan reaksi pada akhir kalimatnya.
[6] Pendapat ini menurut madzhab
muta’akhirin, adapun menurut pendapat mutaqaddimin ia tetap
dla’if meskipun ada pengikutnya.
[7] Inilah madzhab mutaakhirin