Pages

Foto 1

kenangan ketika masih nyantri di PPDM lamongan.

Foto 2

Festifal Teater di kabupaten lamongan.

Foto 3

Foto bareng mahasiswa fakultas syariah iain sunan ampel surabaya.

Foto 4

Kenangan Kegiatan yang lalu.

Foto 5

HUKUM.

Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Oktober 2013

WILAYAH AL - MADZLALIM

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.             Latar Belakang

           Di dalam peradilan islam banyak sekali lembaga-lembaga yang bergerak didalamnya, termasuk lembaga Madzlalim yang menjadi lembaga peradilan yang mengadili para pejabat Negara yang bermasalah, baik pejabat itu sendiri atau keluarganya. Banyak sekali yang harus di ketahui mengenai lembaga madzlalim terutama dari segi pemahamannya, sejarah perkembanganya, dan tugas-tugas dari lembaga madzlalim itu sendiri yang semuanya termasuk dalam wilayah madzlalim.
          
           Secara kultural, praktik peradilan islam itu turun-temurun dan menjadi rujukan bagi pemerintah islam berikutnya, termasuk pemerintahan islam dan Negara-negara muslim, seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri sejak masa pemerintahan Islam Mataram telah di kenal peradilan islam dengan sebutan peradilan surambi. Begitupula dalam masa kolonial, keberadaan peradilan islam di akui dengan sebutan peradilan agama. Bahkan pada masa kemerdekaan, peradilan islam diakui sebagai peradilan Negara hingga sejajar dengan peradilan Negara yang lain, walaupun dalam peraktiknya sering di sebut pengadilan semu.



1.2.             Rumusa Masalah
           Dari penjelasan di atas kami dapat merumuskan masalah yang akan kami jelaskan berbentuk sebagai pertanyaan yaitu:
1.      Apa pengertian dan pemahaman mengenai wilayah Madzlalim?
2.      Apa dasar hukum dari lembaga madzlalim?
3.      Bagaimana awal sejarah dan perkembangan lembaga madzlalim?
4.      Apa tugas dan wewenang dari lembaga madzlalim?


1.3.        Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Memahami apa itu wilayah madzlalim.
2.      Mengetahui dasar hukum dari lembaga madzlalim.
3.      Mengetahui bagaimana sejarah awal lembaga madzlalim dan perkembanganya.
4.      Mengetahui tugas dan wewenang dari lembaga madzlalim.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

            Bab ini menjelaskan bagaimana metode pembuatan makalah ini yang berjudul Wilayah madzlalim. Dalam mengumpulkan refrensi mengenai makalah kami, kami cukup mengunakan satu metode saja, yaitu:
2.1. Stadi Pustaka/Literatur
            Dalam metode ini kami menggunakan buku yang ada di perpustakaan dan di tempatlain yang sekiranya buku tersebut dapat di gunakan sebagai refrensi untuk makalah kami yang berjudul Wilayah Madzlalim, yang membahas tentang pengertian, sejarah, serta wewenangnya.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Wilayah Madzlalim
1.      Pengertian dan dasar hukum
Wilayah madzlalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang peradialn, yang lebih tinggi dari pada hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga madzlalim adalah lembaga yang menangani masalah-masalah yang di luar kewenangan hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiyayaan yang di lakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang berkuasa.
Keberadaan lembaga madzhalim merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran islam. Hal tersebut dapat kita pahami dari kandungan  ayat Al-qur’an, antara lain Al-baqarah ayat 279:
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya

dan surat As-syura’ ayat 40-42:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.


Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

menjelaskan bahwa lembaga ini kusus bertugas menangani perkara yang melibatkan pejabat atau keluarga pejabat Negara.[1]

2.      Sejarah

Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah saw. Pernah bertindak sebagai qadhi mazhalim dalam menyelesaikan masalah Zubair ibn awam dengan laki-laki dari kaum Anshar. Persengketaan tersebut dikenal sebagai perkara madzlalim, mengingat kedudukan Zubair Ibn Awam dan Rasulullah saw. Sangat dekat, karena Zubair adalah sepupu Rasulullah. Dalam persengketaan ini, Rasulullah sendiri yang menyelesaikanya dengan adil, dan dalam kasus ini, tindakan Rasulullah di sebut peradilan Madzlalim. Dengan demikian, lembaga mazhali yang di rumuskan fukaha adalah berdasarkan praktik yang di lakukan oleh Rasulullah saw.

Pada mulanya, sebelum perkara ini di ketahui dan di selesaikan oleh Rasulullah, pihak penggugat (laki-laki Anshar) memiliki beban pisikologi yang cukup berat, seakan-akan sudah kalah sebelum bertanding mengingat posisi lawanya adalah zubair ibn awwam keluarga dekat Rasulullah. Maka dari itulah laki-laki dari kaum Anshar ini segan dan enggan menyampaikan perkaranya ini kepada Rasulullah. Tetapi ia pun sangat menyadari bahwa jika perkara yang tengah di hadapinya ini tidak segerah di selesaikan maka , ia akan menjadi pihak yang teraniyaya. Zubair Ibn Awwam Sangat beruntung, karena rasulullah saw. Mengetahui sendiri permasalahan yang di hadapi oleh laki-laki Anshar itu, dan menyelesaikannya.

Pada masa khulafa’ al-Rasyiddin, penegakan lembaga madzlalim itu belum tampak jelas. Mengingat kesadaran umat islam pada masa itu relative tinggi, ketertiban masyarakat terkendali, sehingga jarang sekali terlihat adanya persoalan yang pelik dan krusial. Hal itu di karenakan umat islam senangtiasa mendapatkan bimbingan dan pemahaman untuk berbuat baik dan adil. Namun demikian, bukan berarti permasalahan-permasalahan itu tidak pernah muncul sama sekali. Karena ternyata dengan kehidupan masyarakat dan perlusasan wilayah kekuasaan pemerintahan islam yang semakin berkembang, sebenarnya masih ada permasalahan yang mirip dengan mazhalim yaitu bila seseorang melakukan Bias atas dasar watak keras yang dimilikinya. Walaupun permasalahan ini masih dapat di selesaikan oleh Hakim.[2]
            Pergeseran situasi dan kondisi telah membawa dan ikut membentuk perjalanan dan perkembangan sejarah islam itu sendiri. Tampilnya Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang disusul oleh anak cucunya sampai lapisan bawah yang cenderung ashabiyah (nepotisme) kepuncak pemerintahan Islam menandai suatu masa tersendiri yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan di zaman bidang peradilan. Menurut Al – Mawardi, orang Bani Umayahlah yang pertama menaruh pemerintahan khusus terhadap urursan mazhalim adalah Abd. Malik Ibn Marwan.
            Akan tetapi, perhatian yang lebih besar terhadap lembaga madzlalim, dan ia juga mengatur dan al – syurthah. Dalam suatu riwayat terungkap bahwa seorang pernah mengadukan suatu perkara kepada Umar Ibn Abd. Aziz tentang perbuatan Al – Walid Ibn Abd. Malik yang telah merampas harta kekayaan yang dimilikinya. Setelah Umar Ibn Abd. Aziz mengetahui tentang kebenaran pengaduan itu sendiri, maka ia memutuskannya dengan mengembalikan seluruh harta kekayaan pada pemiliknya.
            Pada umumnya perhatian terhadap peradilan madzlalim yang berkembang pada masa Bani Abbasiyyah tidak jauh berbeda dengan perhatian yang berkembang pada masa Bani Umayah, yaitu hanya terbatas beberapa khalifah tertentu. Karena itu, pada masa pertama pemerintahan Bani Abbasiyah bertahta, dan wewenang hakim bertambah luas. Hakim tidak sekedar berwenang mengurusi perkara perdata dan pidana. Termasuk kewenangannya dalam menyelesaikan masalah wasiat dan waqaf, tetapi pula berwenang dalam bidang kepolisian, madzlalim, hisbah, qishas, percetakan uang dan urusan bait al – mal.[3]
 Wanita tersebut mengadukan perkaranya atas perampasan kekayaan miliknya, yang dilakukan oleh anak khalifah itu sendiri. Pada saat wanita itu mengeluarkan suaranya dengan keras dan lantang dalam persidangan, seorang penjaga menegurnya. Berkenaan dengan hal itu, Al – Ma’mun secara reflek ia berkata : “Biarkan saja, karena sesungguhnya kebenaran itu lah yang diucapkan ; sedangkan kebatilan didiamkan oleh anaknya”.[4] Dengan begitu, tampaklah kebenaran pengaduan wanita itu. Harta kekayaan tersebut milik wanita itu di kembalikan lagi.
Di kerajaan Saudi Arbia, dewasa ini dikenal lembaga madzlalim, yang memiliki setrata sosial dan yang terhormat. Menurut Al – Hanfawy, kedudukan lembaga mazhalim tersebut lebih tinggi daripada lembaga – lembaga peradilan lainnya. Lembaga itu di kepalai oleh nadzir al – mazhalim, yang memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan mentri. Dan secara langsung ia bertanggung jawab kepada baginda raja, dan tidak bertanggung jawab kepada mentri kehakiman. Lembaga mazhalim itu secara khusus bertugas menyelesaikan perkara – perkara kezhaliman (penganiayaan) yang dilakukan oleh pihak penguasa, baik dari kalangan istana maupun dari kalangan birokrat lain atau kalangan – kalangan tertentu lainnya terhadap pihak orang awam dan masyarakat yang lemah baikpun dari fikiran atau dari segi materi.
Dan disamping itu, lembaga ini bertugas pula menangani kalangan – kalangan praktisi hukum yang melakukan berbagai pembiasaan dan risywah (sogok menyogok diantara kedua belah pihak). Keberadaan lembaga madzdalim itu memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam menjaga keuangan – keuangan Negara dari tindakan  - tindakan korupsi.
Dengan mengamati pengembangan peradilan mazhalim yang terjadi di Negara – Negara Islam dari masa ke masa, dapat di ketahui bahwa peradilan mazhalim itu di kawal langsung oleh khalifah sendiri atau gubernur langsung yang ditunjuk untuk mengemban amanat atau jabatan itu. Dapat juga oleh seorang yang mewakili mereka. Atau mengangkat seseorang yang disebut dalam wali al – mazhalim,atau shahib al – mazhalim.[5] Dalam pelaksanaanya, jabatan atau amanah tersebut dibantu oleh lima unsur yaitu :
1.      Orang yang dianggap memiliki kekuatan (dari lapisan pembantu mahkamah).
2.      Beberapa orang hakim yang dapat dipercaya dan jujur.
3.      Beberapa orang yang memiliki kualifikasi dalam bidang fiqih.
4.      Panitera, sekertaris atau kehakiman.
5.      Orang – orang yang dapat menjadi saksi – saksi ahli (al – shuhud al – ‘udl).


3.      Wewenang  wilayah Madzlalim
Al – mawardy di dalam Al – Ahkamus Sulthaniyyah menerangkan, bahwa perkara – perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam : [6]
1.      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan , maupun terhadap golongan.
2.      Kecurangan pegawai – pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta – harta kekayaan Negara lain.
3.      Mengontrol dan mengawasi keadaan para pejabat.
Ketiga perkara tersebut harus diperiksa oleh lembaga mazhalim apabila telah di ketahui adanya kecurangan – kecurangan dan penganiayaan – penganiayaan tanpa menunggu pengaduan dari pihak yang bersangkutan.
4.      Pengaduan yang di ajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5.      Mengembalikan hak – hak rakyat harta mereka yang dirampas oleh para penguasa – penguasa zhalim.
Ini juga tidak perlu memerlukan pengaduan terlebih dahulu.
6.      Memperhatikan harta – harta waqaf.
Jika waqaf – waqaf itu merupakan waqf umum maka lembaga ini mengawasi berlaku tidaknya syarat – syarat oleh sipemberi waqf. Adapun waqaf – waqaf yang khusus, maka lembaga ini bertindak setelah adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan.
7.      Melaksanakan putusan – putusan hakim yang tidak daapat dilaksanakan oleh hakim – hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya, adalah orang – orang yang tinggi derajatnya.
8.      Meneliti dan memeriksa perkara – perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas – petugas hisabah.
9.      Memelihara hak – hak Allah : yaitu ibadah – ibadah yang nyata seperti sholat jum’at, hari raya idul fitri maupun idul adha, haji dan jihad.
10.  Menyelesaikan perkara – perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak – pihak yang bersangkutan.

BAB IV
ANALISIS

a.         Analisis

Menurut kami lembaga madzlalim ini sangatlah penting dalam suatu peradilan, karena peran dari lembaga ini berbeda dengan lembaga lain dan tugasnya juga berbeda, yang harus menyelesaikan perkara-perkara yang di lakukan oleh seorang pemimpin atau pejabat-pejabat Negara lainnya. Dan di dalam suatu pendapat di atas lembaga Madzlalim itu menangani 10 perkara yang sudah kami jelaskan di atas.

Dan di dalam sejarah perkembanganya yang menjadi qadhi adalah seorang khalifa itu sendiri atau gubenur yang di tunjuk untuk mengemban amanah ini. Adapun orang lain yang menjadi qadhi selain kholifa atau gubenur adalah perwakilan dari mereka saja. Dalam pelaksanaanya peradilan ini di bantu oleh lima unsur yang mendukung jalanya peradilan tersebut.





BAB V
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
            Dari penjelasan kami diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Wilayah Madzlalim adalah suatu lingkup atau lembaga madzlalim yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara dan keluarga mereka.

6.2. Saran
            Dalam mempelajari peradilan, terutama peradilan dalam dunia islam, untuk mempermudah sangatlah penting mengetahui sejarah dari peradilan di dunia islam dari masa-kemasa, yang tentunya banyak sekali perubahan-perubahan yang di lakukan umat islam agar mencapai suatu keadilan. Dan juga sangat penting untuk mencaritahu akan dasar-dasar yang di jadikan rujukan dalam sebuah perdilan. Lembaga-lembaga dalam peradilan dunia islam juga sanggat mumpuni dalam menyelesaikan perkara-perkara, oleh karna itu mempelajari lembaga-lembaga yang ada di dalam peradilan islam sangatlah penting, bisa di tinjau juga dari segi sejarahnya dan wewenangnya yang berkuasa dalam suatu wilayah hokum tersendiri.











DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy T.M Hasbi.1964. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta : Ptalma’arif.
Hasan Ibrahim. 1953.  Tarikh Al – Qadha  Al – Islam Al – Siyasy Wa Al – Diny Wa Al – Staqofi  Wa Al – Ijtimaiy, Al Juz Al – Awwal. Kairo : Mathba’ah Al – Nahdhah Al – Misriyah.
Hasbi Ash Shiddiqy. 1965 Peradilan dan Sistem Peradilan Islam.  Yogyakar  :  ptalma’arif.
Al- Mawardi Imam. 2012. A l- Ahkam As-Sultoniyyah. Jakarta : PT. Darul Falah.






[1] Hasbi Ash Shiddiqy. Peradilan dan Sistem Peradilan Islam. Yogyakar : ptalma’arif. Hal. 77-81
[2] Vide : Al-Ahkamus- Sultoniyah. Hlm. 81
[3] Hasan Ibrahim, Tarikh Al – Qadha Al – Islam Al – Siyasy Wa Al – Diny Wa Al – Staqofi  Wa Al – Ijtimaiy, Al Juz Al – Awwal, (Kairo : Mathba’ah Al – Nahdhah Al – Misriyah, 1953) Hlm. 60.
[4] Abu ya’la al –hanbaliy, (1974) hlm. 75.
[5] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit, hlm. 70 – 71.
[6] Hasbi Ash Siddieqi. Prradilan dan Hokum Acara Islam. Yogyakarta : Ptalma’arif. Hlm78 - 79 

MAKALAH SIFAT MELAWAN HUKUM

BABI
PENDAHULUAN
1.      Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenrichting seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenrichting sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa bisa dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.

Untuk mengkaji lebih lanjut tentang perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini yang secara terus menerus mengalami perubahan sikap, baik dari pembuat undang-undang maupun hakim yang terwujud dalam yurisprudensi, apalagi dikaitkan dengan adanya rancangan atau konsep baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang juga mendapat porsi dalam pasal tersendiri, maka di dalam makalah ini ajaran sifat melawan hukum perbuatan pidana penulis jadikan permasalahan tunggal karena pembahasan dalam makalah ini tidak ingin melebar ke berbagai segi yang tidak relevan dengan materi yang diangkat.


2.      Rumusan masalah

 bagaimanakah pengembangan ajaran sifat melawan hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia baik dalam praktek maupun dalam konsep atau rancangan KUHP baru?



3.      Tujuan

Didalam pembuatan makalah ini kami bertujuan untuk mengembangkan intelektual mahasiswa mengenai ilmu hukum, dengan tema yang sudah kami tulis di atas kami mefokuskan kepada permasalahan apa sebenarnya yang di sebut sifat melawan hukum dalam system hukum pidana Indonesia, praktek maupun konsep KUHP. Semoga apa yang kami berikan memberikan mangfaat.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana

1. Pengertian Sifat Melawan Hukum

Dalam hukum pidana, istilah "Sifat Melawan Hukum" (SMH) memiliki empat makna:
a. Sifat Melawan Hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b. Kata "melawan hukum" dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
c. Sifat Melawan Hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi.
d. Sifat Melawan Hukum material mengandung dua pandangan. Pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik. Kedua, dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.


2. Pengertian Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang, dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH, kata “perbuatan” dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang konkret yaitu:

1. Adanya kejadian yang tertentu,
2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.



B. Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil

Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Sekarang soalnya ialah: Apakah ukuran dari pada keliru atau tidaknya sesuatu perbuatan? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah: apabila larangan telah mencocoki larangan undang-undang, maka di situ ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal.

Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiel.

Seorang penulis (Vost) yang menganut pendirian yang materiel, memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai: perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.
Formulering ini dipengaruhi oleh arrest H.R. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R. Belanda mengatakan: “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.

Yang berpendapat formal adalah Simons: “Untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak. Selanjutnya dalam halaman 275 beliau berkata: “Hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang material tidak dapat diterima, mereka yang menganut paham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, di bawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”.
Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti ajaran yang materiil. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.

Kalau kita mengikuti pandangan yang material maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah:

1. Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis; sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49. Pembelaan terpaksa (Noodweer).
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.

Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya. Apakah konsekuensinya daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik?. Konsekuensinya ialah: jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Sama halnya dengan unsur kemampuan bertanggungjawab.

Konsekuensi yang lain adalah: jika hakim ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal itu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht-vervolging).
Dalam beberapa pasal dalam undang-undang pidana digunakan perkataan “melawan hukum”, dalam pasal-pasal yang lain tidak. Menurut risalah penjelasan perkataan ini selalu disebut dalam susunan perkataan, apabila dikhawatirkan, bahwa barangsiapa yang bertindak dengan sah juga dikenakan undang-undang pidana.

Sistem ini lebih disukai daripada aturan yang terdapat dalam bagian umum, bahwa tiada seorang yang melakukan kejahatan, yang bertindak dengan sah, karena dikhawatirkan, bahwa orang-orang akan bertindak sesuka hatinya. Berdasarkan sistem ini – dalam beberapa pasal dinyatakan dengan tegas sifat melawan hukum, dalam pasal-pasal lain persoalan yang penting dalam hal ini adalah: apakah peristiwa, apabila undang-undang tidak menyebut dengan tegas perkataan “melawan hukum”, harus berlawanan dengan hukum dapat dipidana atau cukup untuk dihukum, apabila dilakukan suatu perbuatan yang diterangkan undang-undang.

Secara formal perbuatan yang demikian itu pasti melawan hukum, karena bertentangan dengan undang-undang. Tetapi yang dipersoalkan di sini bukan sifat melawan hukum yang formal, tetapi sifat melawan yang materil, dan yang dimaksud ialah sifat melawan hukum yang sesungguhnya, tidak hanya yang didasarkan atas keterangan undang-undang yang positif, tetapi juga didasarkan atas asas-asas umum yang merupakan dasar dari hukum, juga apabila ini berasal dari kaedah-kaedah yang tidak tertulis. Berhubung dengan ketentuan yang tertulis dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, maka agar peristiwa dapat dipidana setidak-tidaknya suatu persyaratan, bahwa peristiwa itu formal melawan hukum.






BAB III
KESIMPULAN


1. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di
samping asas legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formil dan
materiil.
2. Yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meski
perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana
3. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum material dibagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif dan fungsi positif. sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum material dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.




DAFTAR PUSTAKA



Chazawi, Adami, Drs. SH. 2007. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Jonkers, Mr. J.E. 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda. Jakarta: PT. Bina Aksara

Moeljatno, Prof. SH. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta

Moeljatno, Prof. SH. 2006. KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara

Soeharto RM, S.H., 1993. Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika

Soerodibroto, Soenarto, R. S.H. 2007. KUHP Dan KUHAP. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada