A.
TAFSIR AYAT TUDUHAN PALSU
وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya
ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Surat
an’nisa ayat 111
وَمَنْ
يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ
بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa,
kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Surat an’nisa ayat 112
B.
ASBABUN-NUZUL
Di
dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Hafizh ibnu Mardawaihi sebab turun ayat
melalui al-‘Aufi dan ibnu Abbas seperti tersebut didalam Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari, ialah: “bahwa beberapa orang Anshar
turut berperang dengan Rasulullah s.a.w. mengadukan halnya dan menyatakan bahwa
yang disangkanya pencuri itu adalah Thu’mah bin Ubairaq. Tetapi setelah si
pencuri mengetahui bahwa yang kecurian telah melapor kepada Rasulullah, lekas –
lekas perisai itu dijatuhkannya ke rumah seorang laki – laki yang tidak
bersalah. Sesudah itu ia segera datang kepada beberapa orang kaumnya, berkata:
“saya telah menghilangkan perisai itu dan telah saya lemparkan kepada rumah si
fulan. Kalian akan mendapatinya disana”. Mendengar perkataan si Thu’mah yang
demikian, semua keluarganya itu datang kepada Rasulullah s.a.w. malam – malam
dan berkata: ”wahai Nabi Allah! Saudara kami (si Thu’mah), tidak bersalah dalam
hal ini. Yang mengambilnya ialah si Fulan. Kami tahu betul! Kami harap Rasul
membersihkan nama saudara kami itu di hadapan orang banyak. Karena kalau dia
tidak dipeliharakan Allah dengan perantaraan engkau, niscaya ia akan binasa”.
Mendengar permohonan yang demikian, berdirilah Rasulullah s.a.w. di hadapan
orang banyak, membersihkan nama si Thu’mah dari tuduhan orang banyak itu.[1]
Riwayat
lain pula dari as-Suddi: “seorang Yahudi menitipkan perisai kepada Thu’mah bin
Ubairaq. Seketika yahudi itu datang kemudian meminta barang titipannya, si
Thu’mah mungkir. Lalu barang itu disembunyikannya ke rumah Abu Mulaik
al-Anshari. Thu’mah telah menggelapkan harta titipan orang. Yahudi itu segera
melaporkan kelakuan Thu’mah yang tidak jujur itu kepada rasulullah s.a.w.
Tetapi ketika Yahudi itu melaporkan hal itu kepada Rasulullah, si Thu’mah dan
sanak keluarganya datang beramai-ramai kepada rasulullah s.a.w. menuduh pula,
bahwa Yahudi itulah yang mengadakan tuduhan palsu, sehingga dari pintarnya
mereka menyusun siasat fitnah dalam pertemuan rahasia, nyarislah Rasulullah
terpengaruh.
Apakah lagi yang dituduh
itu orang Yahudi pula. Yang seketika itu dipandang banyak memusuhi Islam.
Ada
juga riwayat lain yang diterima at-Tirmidzi menyebut Bani Ubairaq juga.tetapi
yang bersangkutan bukan bernama Thu’mah, melainkan Busyair bin Ubairaq. Seorang
tukang fitnah. Seorang munafik yang kerapkali mengarang-ngarang syair menghina
dan mengejek sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Basyir atau Busyair pemfitnah
itu kebetulan dari Bani Ubairaq, satu keluarga miskin, baik di zaman jahiliyah
maupun setelah zaman Islam. Makanan mereka hanya kurma dan roti saja, tidak
pernah merasakan makanan mewah. Sekali ada Qatadah bin Nu’man menceritakan
bahwa pamannya Rifa’ah bin Zaid memesan beberapa makanan dan beberapa alat
senjata dari Syam. Tiba-tiba makanan dan alat senjata itu telah dicuri orang
malam-malam. Rifa’ah segera menceritakan hal itu kepada kemenakannya Qatada bin
Nu’man, bahwa senjata dan makanannya hilang dicuri orang. Rifa’ah menyatakan
bahwa penyelidikan telah dilakukan di perkampungan Bani Ubairaq. Cukup
tanda-tanda menunjukkan bahwa, dari Bani Ubairaq lah pencuri itu. Setelah diperiksa
kepada mereka, dengan sengaja mereka menimpakan tuduhan kepada seorang bernama
Lubaid bin Sahl, bahwa dialah yang mencuri. Mendengar tuduhan yang bukan-bukan
itu murkala Lubaid bin Sahl, sampai disentaklah pedangnya dan berkata: “ Demi
Allah, mesti buktikan mengapa aku dituduh , kalau tidak aku bunuh kamu
semuanya!” Padahal Lubaid bin Sahl ini dikenal orang yang shaleh dan baik
imannya dalam islam. Qatadah bin Nu’man dan pamannya Rifa’ah bin Zaid terpaksa
meminta maaf dan mencabut tuduhan itu. Lalu mereka datang mengadukan ini kepada
Rasulullah s.a.w. dan menjelaskan bahwa Bani Ubairaq menuduh Lubaid bin Sahl,
sehingga nyaris kami menuduh orang yang tidak bersalah. Mereka mohonkan keadilan
kepada Rasulullah s.a.w saja. Asal senjata-senjata itu kembali, cukuplah sudah.
Dan makanan biarlah mereka makan.
Dan
Bani Ubairaq sengaja pula datang menghadap Nabi, yang datang itu bernama Asir
bin ‘Urwah. Lalu dia mengadukan Qatadah dan pamannya Rifa’ah itu. Dikatakannya
bahwa kedua orang itu main tuduh saja, sehingga orang yang shaleh dikalangan
kami yang bernama Lubaid bin Sahl dituhnya mencuri !”
Mendengar
pengaduan Asir bin ‘Urwah itu marahlah Rasulullah s.a.w kepada Qatadah dan
Rifa’ah, sebab menuduh-nuduh orang saja, padahal pangkal bala ditimbulkan oleh
Basyir tukang fitnah yang tersebut pada permulaan tadi. Mendengar perkataan
Rasulullah itu , kembalilah Qatadah memberitakan kepada pamannya.
“ah,
sudahlah !” kata pamannya. “ siapa yang bersalah terseralah. Harta-benda itu
tidak akan aku ambil kembali. Biarlah aku sedekahkan dia pada jalan Allah”.
Qatadah bercerita :” tadinya aku sangka keislaman pamanku kurang kuat, penuh
tipu dan banyak aib. Tetapi setelah beliau mengatakan bahwa harta itu biar
disedekahkan saja pada jalan Allah, barulah aku tau bahwa pamanku seorang
muslim sejati”.
Kata
Tirmidzi, kejadian inilah yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat ini. Memberi
peringatan kepada Rasulullah s.a.w supaya beliau jangan terpengaruh terhadap
tuduhan palsu, sehingga tergesa memustukan memurkai orang karena fitnah.
Tersebut
pula bahwa setelah terbuka rahasia yang telah difitnahkan oleh si Basyir atau
Busyair itu, karena disingkapkan oleh ayat, si Busyair segera lari meninggalkan
Madinah, menuju Makkah dan melindungi diri kepada seorang perempuan musyrikin
bernama Sulaqah binti Sa’ad bin Syuhaid. Menurut Tafsir – Khazin, Busyair itu mati dalam sebuah kecelakaan.
Ahli-ahli
Tafsir lebih banyak memilih dan menguatkan riwayat Thu’mah bin Ubairaq yang
memfitnah orang Yahudi itu.
C.
ISTIMBATUL AHKAM
“
sesungguhnya telah Kami turunkan kepada engkau. Kitab itu dengan kebenaran “.
(pangkal ayat 105). Kitab itu ialah Al-Qur’an.
Meskipun
pada waktu itu Al-Qur’an belum berbentuk sebagai sebuah kitab atau buku, namun
wahyu yang diturunkan Tuhan kepada RasulNya, kitab namanya. Sebab arti Kitab
bukan saja buku tetapi bararti juga perintah. Di dalam ayat ini Nabi sudah
diperingatkan bahwa di dalam mengambil sebuah kebijaksanaan, hendaklah ia
selalu berpedoman kepada wahyu yang telah diturunkan Tuhan kepadanya. Di dalam
Kitab itu, “ bahwa jika datang orang fasik membawa suatu berita, hendaklah cari
keterangan, selidiki nilai berita yang dibawanya itu, (surat 49, al-Hujurat
ayat 6). Di dalam kitab itu juga telah dijelaskan: “ kalau hendak menghukum
kan, hendaklah menghukum dengan adil”. (surat 4 an-Nisa’ ayat 57) yang telah
lebih dulu keterangannya. Dengan dasar-dasar yang tersebut di dalam Kitab
itulah hendaknya engkau menghukum.
“Supaya engkau hukumkan diantara manusia
dengan apa yang telah memperlihatkan Allah kepada engkau”. Arti tegasnya
ialah dengan memakai dasar kitab tuntunan Tuhan itu, hendaklah engkau
menghukum. Dan diberi kelak engkau oleh Tuhan petunjuk, yaitu diperlihatkan
oleh Tuhan kepada engkau jalan mana yang muslihat yang akan engkau tempuh. Ayat
ini memberikan bimbingan yang tegas kepada kita bahwasannya Rasul sebagai
pemegang hukum, ddengan memegang dasar al-Kitab al-Hakim, boleh memakai
ijtihadnya boleh memakai keputusan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya.
Tetapi tidaklah boleh terlalu terburu mengambil keputusan, sebelum terlebih
dahulu bersandar kepada dasar yang kuat, yaitu Kitab Allah. Sebab Kitab Allah
adalah kebenaran yang mutlak, sedang ijtihad manusia bisa salah atau khilaf,
kemudian ditekankan lagi diujung ayat :
“
Dan janganlah engkau terhadap orang-orang yang berkhianat itu jadi pembela”.
(ujung ayat 105).
Maksud
sebab turun ayat sudah jelas . yaitu pertama jangan terburu-buru menerima saja
fitnah yang dibuat oleh si Thu’mah terhadap Yahudi itu, atau si Busyair
terhadap Lubaid bin sahl. Dan sebelum menjatuhkan hukum, hendaklah ingat
terlebih dahulu sandaran sebagai Hakim Islam, yaitu Kitab Allah. Di dalam
mengambil Hukum dari Kitab Allah itu, bolehlah engkau memakai ijtihadmu sendiri
menurut apa yang diperlihatkan Tuhan kepada engkau dalam cara timbangan yang
sehat. Dan dasar yang utama pula harus diperhatikan, ialah karena hendak
menegakkan keadilan jangan membela orang yang berbuat aniaya. Walaupun yang teraniaya itu orang Yahudi .
Dapatlah dipahamkan dari sebelum turun ayat ,
bahwa Rasul disuruh memohonkan ampun kepada Tuhan , sebab beliau telah nyaris
terlanjur membenarkan fitnah orang, karena pandainya orang curang menyusun
fitnah. Dan bunyi ayat setegas ini menunjukkan pula bahwa seorang Rasul di
dalam mengambil tindakan, bisa juga terkhilaf. Dan itu tidaklah termasuk salah.
Ayat inilah yang membuka ijtihad bagi orang yang ada kesanggupan, dengan selalu
berdasarkan al-Kitab. Kalu terkhilaf segerra mohon ampun.
Dan
hendaklah diingat pula bahwa kalimat Ghufran
itu bukan saja berarti ampunan, tetapi bararti juga tameng untuk menangkis
bahaya. Memohon, istighfar kepada Tuhan bukan saja berarti memohon ampun
daripada kesalahan atau kekhilafan yang telah terlanjur, bahkan berarti juga
memohon perlindungan terhadap Tuhan.
“
Sesungguhnya Allah adalah maha pengampu,
lagi penyayang”. (ujung ayat 106). Dengan sebab Tuhan telah menyebut salah
satu daripada sifatNya, yaitu pengampun, hilanglah keraguan bagi seseorang
mujtahid buat meneruskan ijtihadnya, asal saja dia tetap berpegang kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi. Dengan Tuhan menyebut sifatNya yang penyayang,
berarti bahwa dia akan memberikan petunjuk dan memperlihatkan apa-apa yang
patut diperlakukan di dalam menetapkan hukum.
Di
dalam ayat 105 tadi Tuhan telah menyuruh NabiNya menghukum dengan apa yang
telah diperlihatkan Allah kepadanya. Artinya ialah dengan ma’rifat dan ilmu
serta wahyu yang dilimpahkan Tuhan kepadanya, sehingga laksana dilihatnya nyata
dan matanya apa yang terlihat oleh hatinya. Karena ilmu Yaqin yang timbul dalam
hati, lebih nyata oleh penglihatan hati daripada apa yang dilihat oleh mata.
Sebab itu maka Saiyidina Umar bin Khatab memberi peringatan kepada kita, supaya
janganlah seseorang yang telah berhasil memutuskan suatu perkara mengatakan
bahwa ia memustukan menurut penglihatannya yang diberikan Allah kepadanya.
Sebab teropong penglihatan batin yang demikian jitu hanya diberikan Tuhan
kepada RasulNya. Kita hanya berijtihad, dan hasil ijtihad tidaklah yakin,
melainkan Zhan semata-mata. Sedang
Ra’yi atau pandangan Rasulullah adalah benar, sebab Tuhan yang memberinya
penglihatan.
Sesungguhpun
demikian Nabi sendiri pun dengan Thawadhu’nya mengakui juga behwa dia sebagai
manusia tidak akan sunyi daripada kekhilafan. Tersebut dalam sebuah Hadits yang
dirawikan oleh Bukhari dan Muslim yang diterima daripada isteri Rasulullah
s.a.w Ummi Salamah, bahwa sedang beliau berada di dalam biliknya, terdengar
oleh beliau orang ribut-ribut di luar karena mempertengkarkan suatu perkara dan
mereka hendak datang meminta ketentuan hukum daripada beliau. Maka beliau pun
keluarlah, lalu berkata kepada mereka: “Ketahuilah, aku ini hanya manusia. Aku
memutuskan hukum hanya sepanjang yang aku dengar. Mungkin salah seorang
diantara kamu kelu lidahnya menegakkan alasan di hadapan orang lain, lalu aku
mengambil keputusan. Oleh sebab itu kalau ada keputusanku yang merugikan hak
seorang muslim dan memenangkan yang lain, maka itu adalah sepotong dari api
neraka. Sebab itu pikullah hukum itu dan tinggalkanlah.
Dan
menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa dua orang laki-laki
dari golongan Anshar pernah membawa perkara kehadapan Rasulullah s.a.w yaitu
perkara warisan yang telah lama masa berlalunya, sehingga diantara kedua pihak
tidak ada bukti-bukti yang dapat ditunjukkan. Maka bersabdalah beliau: “kamu
datang kepadaku membawa perkara minta diselesaikan, sedang aku ini hanya
seorang manusia. Mungkin sekali salah seorang diantara kamu ada yang kelu
lidahnya mengemukakan hujjahnya. Sedang aku menghukum menurut apa yang aku
dengar. Maka kalu kamu merasa ada hukumku yang merugikan saudaranya, janganlah dia
ambil itu. Karena itu adalah sepotong dari api akan membakarnya, tergelung
dikuduknya di hari kiamat”. Mendengar sabda beliau yang demikian, menangislah
kedua sahabat Anshar yang bersaudara tersebut, lalu yang seorang berkata: “ Apa
yang selama ini aku rasa sebagai hakku, mulai hari ini aku serahkan kepada
saudaraku”. Dan yang seorang menyambut pula: “ Bukan ! Bahkan seluruh hakku aku
serahkan kepada saudaraku”. Mendengar pengakuan yang mengharukan hati itu
bersabdalah Rasulullah s.a.w : “ kalau sudah demikian kata kalian, pulanglah
dan berbahagialah baik-baik, tegakkanlah hak diantara kamu berdua baik-baik
pula, dan kemudian itu halal-menghalalkanlah terlebih terkurang”.
Riwayat
ini ditambah oleh Abu Daud, yaitu sabda Rasulullah s.a.w : “Aku mengambil keputusan
adalah menurut pandanganku pada perkara yang tidak ada turun wahyu kepadaku”.
Sedangkan
sudah jelas Rasulullah selalu dituntun oleh wahyu apatah lagi mengaku beliau
akan kekhilafannya sebagai manusia, apatah lagi bagi kita umat Muhammad yang
melakukan ijtihad, niscaya ada kekhilafan. Itu sebabnya maka Imam Syaafi’i
pernah mengatakan bahwa hanya Hadis Rasulullah s.a.w yang sah lah mazhabku”.
“
Dan janganlah engkau bela orang-orang
yang mengkhianati diri mereka”. (pangkal ayat 107).
Thu’mah
telah mengkhianati diri sendiri bersama kawan-kawannya karena telah melemparkan
tuduhan palsu terhadap orang lain, meskipun orang lain itu orang Yahudi.
Perbuatan demikian telah merusakkan budi sebagai muslim, dan tidak patut
dilakukan oleh orang yang beriman. Sebab itu Tuhan melarang Nabi orang yang
seperti demikian, meskipun dalam pengakuannya mereka menyatakan diri orang
islam. Perbuatan mereka telah merusak islam.
“
Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada
yang berkhianat dan berdosa” ( ujung ayat 107 ). Ujung ayat ini telah
menegaskan bahwa Allah tidak suka terhadap orang-orang yang curang, siapapun
orangnya, walaupun dia mengaku islam. Yang teraniaya wajib dibela, walaupun dia
Yahudi. Mentang-mentang golongan Islam berkuasa, tidaklah boleh menyalahgunakan
kekuasaan. Kekuasaan jangan digunakan untuk menindas dan memfitnah orang yang
lemah.
“
Mereka bersembunyi dari manusia” (
pangkal ayat 108 ). Dengan sembunyi dari mata orang lain dan memencil ketempat
yang sunyi. Thu’mah dan kawan-kawannya mengatur siasat untuk memfitnah orang
Yahudi itu, dan kemudian membawa hasil rencana fitnah itu ke hadapan Nabi
s.a.w.
“Dan adalah Allah itu, dengan apa-apa yang
mereka kerjakan, telah mengepung ” (ujung ayat 108).
Allah
telah mengepung, artinya bahwa satu jalan yang curang, adalah jalan yang tidak
berujung, atau jalan buntu yang tidak memiliki jalan keluar, sehingga yang
menjalani itu akan oleh akibat kesalahannya sendiri dari kiri dan kanan, muka
dan belakang. Mundur tidak bisa lagi, dan maju adalah kehancuran.
“ Ha! Itulah kamu, orang-orang yang telah
membela mereka dalam kehidupan dunia”. ( pangkal ayat 109 ). Dengan dimulai
kalimat Ha Antum ,yang diartika “Ha! Itulah kamu!” yang dalam arti bahasa
Indonesia makna tersembunyi dalam pangkal ayat itu, yaitu sebagai “tunjuk
hidung” menelanjangi jiwa orang-orang yang telah membela Thu’mah itu. Tandanya
mereka bukan seorang dua, melainkan agak banyak, yaotu kaum dan sanak saudara Thu’mah.
Membela Thu’mah walaupun dia salah, menuduh Yahudi walaupun ia tak bersalah,
karena mempertahankan nama suku atau kaum. Semuanya itu hanyalah usaha menjaga
air muka dalam kehidupan dunia yang fana belaka. Maka datanglah pertanyaan
Tuhan, sebagai menyadarkan mereka atas kesalahan itu.
“Maka siapakah yang akan membela mereka di
hari kiamat?”
Inilah
suatu peringatan keras bagi barang siapa yang mencoba membela yang salah dan
menegakkan perbuatan yang curang. Bahwasannya walaupun menang perkaranya di dunia
ini karena cerdik-buruknya, namun di akhirat perkara ini akan dibuka kembali,
dan tidak ada yang akan membela di hadapan Mahkamah Illahi.
“
Atau siapakah adanya yang akan menjadi
pengurus atas mereka?” (ujung ayat 109).
Siapa?
Sehingga malaikat sendiri pun tidak akan dapat mengangkat mulut kalau tidak
atas seizin Tuhan. Kedaulatan mutlak dihari itu adalah di sisi Allah
semata-mata dan kebenaran akan tegak. Setelah diperingatkan dengan ancaman
besar ini, datanglah ayat seterusnya :
“
Dan barangsiapa yang berbuat suatu kejahatan ataupun ia menganiaya dirinya,
kemudian itu diapun memohon ampun kepada Allah, niscaya akan didapatinya Allah
itu maha pengampun, lagi penyayang”. (ayat 110).
Datang
ayat yang seperti ini menimbulkan bahwa Thu’mah dan kaumnya masih diberi
kesempatan memohon ampun kepada Tuhan. Sebab barangkali dikala itu mereka belum
menyangka bahwa perbuatan mereka itu adalah satu pengkhianatan yang besar,
bukan kepada Yahudi itu melainkan kepada Allah dan RasulNya. Sebab barangkali
mereka menyangka, kalau orang itu Cuma orang Yahudi, tidak mengapa difitnah
secara aniaya. Disebutkan sekali lagi di ayat ini bahwa itu adalah jahat dan
menganiaya diri sendiri, sebab merusak jalan lurus yang wajib dibangun di dalam
jiwa. Kalau mereka lekas taubat dan minta ampun, mereka akan diberi taubat.
Sebab Allah maha penyayang kepada orang yang insyaf dan taubat dari
kesalahannya.
“
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka
sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana”.( ayat 111)
Penjelasan
dari ayat ini bahwa tidak ada dosa warisan di dalam Islam sebagaimana di dalam
pandangan gereja dan tidak ada penebusan dosa selain penebusan terhadap dosa
yang dilakukannya sendiri. Dengan prinsip ini, maka setiap orang akan
berhati-hati di dalam bertindak dan berbuat, dan dia merasa tenang karena ia
tidak akan dihisab kecuali terhadap apa yang dikerjakannya.[2]
“
Dan barangsiapa yang mengerjakan
kesalahan atau dosa, kemudian di tuduhkannya kepada orang yang tidak bersalah,
maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”.(
ayat 112 )
Berbuat
kebohongan karena ia telah menuduhkan kesalahan atau dosa itu kepada orang yang
tidak bersalah. Dan dosa karena ia telah mengerjakan perbuatan dosa yang
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah. Maka, kedua macam dosa (berbuat
dosa dan menuduhkannya kepada orang yang tak berdosa) ditanggungnya asecara
bersama-sama. Seakan-akan dosa itu sebuah beban yang dipikulnya, yang
diungkapkan oleh Al-Qur’an seolah-olah dosa itu suatu benda dimana pengungkapan
ini semakin memperjelas dan mempertegas maknanya.
Dengan
kaidah ini al-Qur’an melukiskan neraca keadilan yang dipergunakan untuk
menghisab setiap orang terhadap segala perbuatan yang dilakukannya.[3]
Tidakklah seorang pelaku suatu dosa dibiarkan lepas dari dosanya itu apabila ia
telah melemparkannya kepada orang lain. Pada waktu yang sama, al-Qur’an
membukakan pintu tobat dan pengampunan dengan selebar-lebarnya dan dibuatlah
perjanjian dengan Allah SWT pada setiap waktu bagi orang-orang yang bertobat
dan meminta ampun.
Lihat
disini keadilan Tuhan, pada ayat ini sudah diberikan pembelaan kepada kaum
Yahudi tadi, dia adalah bersih, tidak ada salah dalam hal ini. Soal Yahudi yang
memusuhi Islam adalah masalah lain dan cara menghadapinya lain pula, tetapi
dalam hal mencuri atau menuduh dengan berbohong dia sama sekali tidak bersalah,
yang bersalah besar, membuat dusta besar dan dusta yang nyata ialah yang
menuduhnya, yakni Thu’mah dan kaumnya.
“
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmatNyan kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk
menyesatkanmu. Tetapi, mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan
mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun. ( Juga karena ) Allah telah menurunkan
Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu
ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat belum kamu ketahui. Dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu”. (ayat 113)
Dapatlah
kita pahami betapa tingginya pujian Tuhan terhadap Rasulnya, pada ujung ayat
ini, jika kita pikirkan bahwa Nabi kita s.a.w itu bukanlah seorang bersekolah
tinggi menurut penilaian kita di zaman sekarang. Dia adalah seorang ummi (buta
huruf, tak pandai menulis, dan membaca), namun tidakkah ada satu kekeruhan yang
tak dapat beliau selesaikan.dan pada ayat ini dapatlah kita pahami bahwa
karunia terbesar yang diberikan Allah pada RasulNya bukanlah harta-benda
melainkan karunia cahaya jiwa, cahaya iman, cahaya risalat dan nubuwat.
“ tidaklah ada
kebaikan pada kebanyakan dari bisik-bisik mereka itu, kecuali orang yang
menyuruh dengan shadaqah atau perbuatan yang patut atau mendamaikan di antara
manusia. Dan barang siapa berbuat demikian itu, karena menginginkan keridhaan
Allah, maka sesungguhnya Dia akan memberinya kelak pahala yang besar”.
(ayat 114)
Dari
ujung ayat ini dapatlah kita pahami bahwa ada bisik yang membawa dosa dan
kecelakaan ,berbisik karena memfitnah, seperti perbuatan Thu’mah dan
kawan-kawannya itu, berbisik mengatur siasat melepaskan orang bersalah dari
tuntutan hukum dan berusaha melemparkan kesalahan kepada orang lain yang tidak
bersalah. Tetapi ada juga bisik yang berpahala karena maksud-maksud yang suci
yang bermanfaat.[4]
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya
ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Surat
an’nisa ayat 111
Penjelasan
dari ayat ini bahwa tidak ada dosa warisan di dalam Islam sebagaimana di dalam
pandangan gereja dan tidak ada penebusan dosa selain penebusan terhadap dosa
yang dilakukannya sendiri. Dengan prinsip ini, maka setiap orang akan
berhati-hati di dalam bertindak dan berbuat, dan dia merasa tenang karena ia
tidak akan dihisab kecuali terhadap apa yang dikerjakannya.
وَمَنْ
يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ
بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa,
kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Surat an’nisa ayat 112
Berbuat
kebohongan karena ia telah menuduhkan kesalahan atau dosa itu kepada orang yang
tidak bersalah. Dan dosa karena ia telah mengerjakan perbuatan dosa yang
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah. Maka, kedua macam dosa (berbuat
dosa dan menuduhkannya kepada orang yang tak berdosa) ditanggungnya asecara
bersama-sama. Seakan-akan dosa itu sebuah beban yang dipikulnya, yang
diungkapkan oleh Al-Qur’an seolah-olah dosa itu suatu benda dimana pengungkapan
ini semakin memperjelas dan mempertegas maknanya.
Dengan
kaidah ini al-Qur’an melukiskan neraca keadilan yang dipergunakan untuk
menghisab setiap orang terhadap segala perbuatan yang dilakukannya. Tidakklah
seorang pelaku suatu dosa dibiarkan lepas dari dosanya itu apabila ia telah
melemparkannya kepada orang lain. Pada waktu yang sama, al-Qur’an membukakan
pintu tobat dan pengampunan dengan selebar-lebarnya dan dibuatlah perjanjian
dengan Allah SWT pada setiap waktu bagi orang-orang yang bertobat dan meminta
ampun.
Lihat
disini keadilan Tuhan, pada ayat ini sudah diberikan pembelaan kepada kaum
Yahudi tadi, dia adalah bersih, tidak ada salah dalam hal ini. Soal Yahudi yang
memusuhi Islam adalah masalah lain dan cara menghadapinya lain pula, tetapi
dalam hal mencuri atau menuduh dengan berbohong dia sama sekali tidak bersalah,
yang bersalah besar, membuat dusta besar dan dusta yang nyata ialah yang
menuduhnya, yakni Thu’mah dan kaumnya.
Daftar
Pustaka
Ø Quthb Sayyid.1992. Tafsir
Fi Zhilalil Qur,an. Jakarta : Gema Insani.
Ø Hamka. 2005. Tafsir Al Azhar. Jakart : Pustaka Panjimas.
Ø Abul al-Imam.2001. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Ø Al-imam, Abl fida ismail ibnu kasir
ad-dimasyiqi. 2004. Tafsur Ibnu Kasir.Bandung : Sinar Baru Algersindo.
Ø Al-Mahalliy, Imam Jalaludin. AsSuyuthi
Imam Jalaludin. 1990. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul.
Bandung : Sinar Baru.
Ø Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an
dan Terjemahnya.Jakarta : Syaamil Cipta Media.
Ø Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Gema Insani:Jakarta. 2002.
Ø Abdulkarim, Amrullah Abdulmalik, 1998. Tafsir
Al-Azhar. Jakarta : Pustaka Panjimas.
0 komentar:
Posting Komentar