BAB I
PENDAHULUAN
Dari pendapat salah satu imam yaitu Imam Syafi‘i membagi at’iyyah menjadi beberapa bagian. Menurutnya,
pemberian harta benda secara suka rela atau pemberian tanpa ganti rugi dari
seseorang kepada orang lain itu dibagi dua. Pertama, pemberian yang
ditangguhkan sampai meninggalnya sang pemberi; Kedua, pemberian yang terlaksana
sewaktu pemberi masih hidup, yang terdiri dari: Pemberian hak milik secara
murni, meliputi hibah, hadiah dan sedekah, yakni pemberian harta benda di jalan
Allah. Kepemilikan harta diberikan kepada Allah dan manfaatnya diberikan untuk
umum.
Dasarnya pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan
pengertian sedekah, hadiah dan athiyah, adapun perbedaannya adalah sebagai
berikut:
1. Jika
pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti
pemberian tersebut dinamakan “sedekah”
2. Jika
pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta
dinamakan “hadiah”
3. Jika
diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dinamakan “hibah”
4. Jika hibah
tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit menjelang
kematiannya dinamakan “athiyah”
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang Hibah dan
Hadiah. Adaun rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah persamaan dan perbedaan hadiah dan hibah,?
2. Apakah
hukum hibah, dan hadiah serta ketentuan masing-masing?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hadiah
Dalam kitab
Al-Hujjah Al-Balighah di sebutkan, hadiah itu dimaksudkan untuk mewujudkan
kasih sayang diantara sesama manusia. Dan maksud tersebut tidak akan terwujud
kecuali dengan memberikan balasan serupa.suatu hadiah dapat menjadikan orang
yang memberi dapat menimbulkan kecintaanh pada diri penerima hadiah kepadaya,
selain itu tangan di atas lebihbaik daripada tangan di bawah.
Hadiah
merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan
dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah SAW menerima hadiah dan
menganjurka untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.Al
Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadist di dalam shahihnya (2585) dan hadist
ini memiliki hadist-hadist pendukung yang lain.dari ‘Aisyah ra berkata :
“Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya”.
Dan di dalam
Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadist Abu Hurairah ra
berkata bahwa Rasulullah SAW apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang
makanan tersebut, “apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan shadaqah
maka beliau berkata pada para sahabatnya “makanlah!” sedangka beliau tidak
makan.dan apabila di katakan “hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya
tanda penerimaan beliau.lal beliau makan bersama mereka. (HR.Al Bukhari 2576)
dan (Muslim 1077).
Dan hadiah
menurut istilah syar’I yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu
agar terwujudnya suatu benda kepada seseorang tertentu agar terwujudnya
hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan
syarat.dan disana ada sis keumuman dan kekhususan dikalangan para ulama’ antara
hibah pemberian dan shadaqah.
Dan proses
definisi diantara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada
seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah allah
ta’ala.Sedangkan hadiah diberikan kepada orang fakir dan orang kaya yang di
niatkan untuk meraih rasa cinta dan balas budi atas hadiah yang telah
diberikan.
A.
Hukum Hadiah
Hadiah telah di
syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi pemberinya.Dalil yang
melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah, bahwa nabi telah
bersabda :
لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ
وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ
“sekiranya aku diundang makan sepotong
kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan
tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti
aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari)
Dan diriwayatkan imam Ath-Thabrani dari
Hadist Ummu Hakim Al-Khuza’iyah, dia berkata : wahai rasulullah apakah engkau
tidak menyukai penolakan terhadap kelembutan ?" beliau menjawab :”betapa
buruknya yang demikian itu, sekiranya aku diberi hadiah sepotong kaki
binatang,pasti aku akan menerimanya”.
Hadiah
diperbolehkan dengan kesepakatan umat, apabila tidak terdapat disana larangan
syar’I terkadang di sunattkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung
silaturrahmi, kasih sayang dan rasa cinta.terkadang disyariatkan apabila dia
termasuk di dalam bab membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang
semisalnya.dan terkadang juga menjadi haram dan perantara menuju perkara yang
haram dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk
dalam kategori sogok menyogok dan yang sehukum dengannya.
B.
Hukum menerima hadiah
Para
ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah
wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasannya
orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’I yang
mengharuskan menolaknya.maka wajib menerimanya di karenakan dalil-dalil berikut
ini :
1. Rasulullah SAW bersabda : “penuhilah
undangan, jangan menolak hadiah, da jangan menganiaya kaum muslimin”.
2. Di dalam ash-shahih (al-bukhari dan
muslim). Dari Umar ra beliau berkata : rasulullah SAW memberiku sebuah
bingkisan, lalu aku katakan “berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku”
maka beliau menjawab, “ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta
ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan
simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah.dan bila
engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya.”
Salim bin
abdillah berkata :”oleh karena itu abdullah tidak pernah meminta kepada orang
lain sedikitpun dan tidak pula menolak bingkisan yang di berikan kepadanya
sedikitpun”.(shahih At Targhib 836)
Dan
didalam sebuah riwayat, Umar ra berkata “ketahuilah demi dzat yang jiwaku
ditangan-nya!saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidaklah
aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya,”
(shahih At Targhib 836)
3. Rasulullah SAW tidaklah menolak hadiah
kecuali dikarenaka oleh sebab yang syar’I.oleh karena adanya dalil-dalil ini
maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4. Demikian pula diantara dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadist
Abu Hurairrah ra, beliau berkata bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang
siapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia
memintanya, maka hendaklah menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki
yang allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).
C.
Hukum menolak hadiah
Setelah
jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali
dikarenakan unsur syar’I dan nabi SAW melarang kita untuk menolak hadiah dengan
sabda beliau :” jangan kalian menolak hadiah”. (telah lewat takhrijnya).
2.
Hibah
Para imam
mazhab sepakat hibah menjadi sah hukumnya jika diakukan dengan tiga berkara
yaitu :
1.
Ijab,
2.
Kabul,
dan
3.
Qabdhu
(serah terima barang yang di hibahkan).
Oleh karena
itu, menurut pendapat hanafi,syafi’I dan hambali hibah tidak sah kecuali
berkumpulnya tiga perkara itu.Maliki : sah dan lazimnya suatu hibah itu tidak
memerlukan serah terima barang tetapi cukup adanya ijab dan qabul saja.
Serah terima barang merupakan syarat pelaksanann dan syarat
sempurnanya hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan mengakhirkan
penyerahan barang, padahal yang menerima hibah terus menerus memintanya hingga
orang yang menghibahkan mati, sedangkan yang menerima terus memintanya (karena
belum menerima hibahnya tersebut) hibahnya tidak menjadi batal dan ia berhk
menerima kembali kepada ahli warisnya.
Hibah adalah akad pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai
tanda kasih sayang.Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta
itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk
itu hibah hukumnya mubah.
Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
“Dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS.
Al Baqarah : 177)
A.
Rukun dan syarat hibah
a. Pemberi
Hibah (Wahib)
Syarat-syarat
pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan
sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki
barang.
b. Penerima
Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat
penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya
penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak
ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih
dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang
yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat
barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang
yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan
dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada
penerima hibah.
d. Akad
(Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan
tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
Macam-macam
Hibah
Hibah
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
·
Hibah barang adalah
memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai
manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi
(harapan) apapun. Misalnya menghibahkan
rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
·
Hibah manfaat, yaitu
memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang
dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi
hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya
memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah
berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah
dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu
tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
B. Mencabut Hibah
Jumhur
ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah
orang tua
terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
“Tidak
halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali
seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda
Rasulullah SAW. :
اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)
“Orang
yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya
kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Hibah yang
dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
a. Hibahnya
orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu
demi menjaga kemaslahatan anaknya.
b. Bila
dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
c. Apabila
dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari
pihak lain.
C. Masalah Mengenai
Hibah
Pemberian
Orang Sakit yang Hampir Meninggal Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu
penerima harus bukan ahli warisnya dan jumlahnya tidak lebih dari sepertiga
harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak sah. Jika hibah itu
jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada penerima
hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.
Penguasaan
Orang Tua atas Hibah Anaknya, Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh
menguasai barang yang dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan
dalam perwaliannya atau kepada anak yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya.
Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta kembali hibah seseorang kepada
anaknya.
D. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan
rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan
sikap saling tolong menolong
3. Dapat
mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan
diri dari berbagai malapetaka
0 komentar:
Posting Komentar