BAB II
PEMBAHASAN
2 21 Kaidah
Keduapuluh Satu
الفرض افضل من النفل
“fardhu itu lebih utama daripada sunnat.” (as-Suyuthi.TT:99)
Misalnya seseorang yang masih mempunyai
tanggungan menqadha’ puasa ramadhan, kemudian ia melakukan puasa bulan syawal
dengan niatan puasa, maka yang lebih baik dan yang lebih utama adalah melakukan
puasa qadha’ ramadhan dulu, karena itu lebih penting.
Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal
dengan fardlu atau wajib, ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah).
Perdebatan karasteristik semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi
rendahnya derajat ibadah.
Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa
hadits yang menerangkan pengertian di atas dengan berbagai redaksi yang
berbeda, diantaranya hadits qudsi yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah ra:
من تقرب فيه بخصلة من خصال الخير كان كمن ادى فريضة فيما
سواه ومن ادى فريضة فيه كان كمن ادى سبعين فريضة فيم سواه (رواه ابن خزيمة عن
سلمان الفا رسى )
“Sesungguhnya Rasullah
bersabda: Barang siapa yang melakukan taqorrub (ibadah sunnah) kepda Allah SWT.
Di bulan ramadlon, maka ia akan mendapakan pahala sebagai ia melakukan satu
ibadah fardu dibulan ramadlon, maka seperti halnya mengerjakan 70 kali ibadah
faardu pada selain bulan romadlon ”
Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan
adalah sunnah dalam bulan ramadlon dengan fardlu diluar romadlon, dan antara
fardlu dibulan romdlon dengan 70 fardlu dibulan romdlon. Semua ini memberi
pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70
derajat/tingkat.
Sebagian ulama’ menganggap
hal-hal berikut ini sebagai pengecualian, yaitu:[1]
1.
Membebaskan
pembayaran orang yang dalam kesulitan, lebih utama dari pada penundaan
pembayaran.
2.
Memulai
memberi salam hukumnya sunat, tetapi lebih utama dari pada yang menjawabnya ,
sedang menjawab salam hukumnya wajib.
3.
Wudlu sebelum
masuk waktu sholat itu sunnah, dan itu lebih baik dari pada wudlu (yang wajib)
karena masuk waktu, sebab wudlu sbelum waktu sholat mengandung beberapa
kemaslahatan.
2 22 Kaidah
Keduapuluh Dua
الفضيلة المتعلقة بذات العبا دة اولى من المتعلقة
بمكانها
“keutamaan yang dipautkan dari esensi ibadah lebih baik daripada
dipautkan dengan tempatnya.”(as_Suyuthi.TT:100)
Misalnya
shalat fardhu di masjid lebih utama daripada di luar masjid, namun shalat di
luar masjid berjama’ah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian. Shalat
sunnah dirumah lebih utama dari pada di masjid, sebab dengan shalat di rumah
menambah kekusyukan, dan keihklasan seseorang dari shalatnya.[2]
Keutamaan
ibadah tanpa melihat tempat dan waktu ini sangat logis dan wajar, karena
penyempurnaan terhadap entitas ritual ibadah itu sendiri tentu harus diutamakan
dari pada sibuk dengan faktor eksternal diluar ibadah. Dalam tataran
teoritis-praktis, pelaksanaan ibadah misalnya sholat, jika sholat dilangsungkan
secara berjamaah, akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
dilakukan sendirian.
Dalam kaidah
di atas terdapat pengecualian yaitu: meskipun kaidah ini diterapkan dengan
cermat pada sebagian besar permasalahan yang tercakup didalamnya, namun tak
urung, beberapa obyek tidak dapat diberlakukan sesuai dengan terapan kaidah.
23 Kaidah
Keduapuluh Tiga
الواجب لايترك الا لوا جب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang
wajib pula.”(as-Suyuthi.TT:101)
Misalnya seseorang istri berpuasa senin atau
kamis, namun suaminya tidak menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang
istri harus meninggalkan atau
membatalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya, karena taat pada suami
itu jauh lebih penting (wajib) daripada puasa sunnat.
ما كان
ممنوعا اذاجا زوجب
“semua yang dilarang, apabila boleh, menjadi
wajib”
Jadi dari kaidah-kaidah ini dapat
ditegaskann, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali
ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban
yang mengharuskan unutuk meninggalkannya.
Contoh:
1.
Memotong
tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/
melukai adalah tindak pidana.
2.
Wajibnya
makan bangkai bagi orang yang terpaksa, kalau tidak, pasti haram hukumnya.
3.
Khitan adalah
wajib, jika tidak tentu haram hukumnya. Sebab khitan itu melukai/ memotong
anggota badan, disamping membuka aurat yang paling vital bahkan memegangnya
lagi.
Pengecualian dari kaidah di atas ini
adalah:
1.
Sujud syahwi
dan syujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak
boleh dikerjakan.
2.
Melihat
wanita yang akan dinikahi itu tidak wajib, tetapi kalau saja tidak
disyari’atkan tentu tidak boleh dilakukan.
Istinbath dengan kaidah ini,
maka untuk memperoleh fadilah shalat berjama’ah, shaf awal harus dipenuhi
terlebih dahulu sebelum membentuk shaf lagi, sesungguhnya jika masih ada yang
kosong untuk mengisinya tentu melewati shaf jama’ah. Padahal melangkahinya itu
haram atau makruh.
24 Kaidah
Keduapuluh Empat
ما اوجب اعظم الامرين بحصوصه لايوجب دونهما بعما
بعمومه
“apabila yang mewajibkan yang lebih besar
dari dua perkara karena kekhususanya, tidaklah diwajibkan yang lebih ringan
dari keduanya karena keumumannya.” (as-Suyuti.TT:101)
Misalnya keluarnya air mani (sperma) tidak
mewajibkan wudhu walaupun itu merupakan salah satu benda yang dari kemaluan
yang membatalkan wudhu, sebab dari kekhususanya telah mewajibkan mandi, dan
mandi merupakan akibat yang lebih besar daripada sekedar wudhu untuk
menghilangkan hadas kecil.
Apabila suatu kejadian (perbuatan) dapat
ditinjau dari sifat/ keadaan umum dan khusus, kemudian apabila dari
kekhususannya sudah mewajiban suatu kewajiban yang besar/ berat, maka dari
keumumannya tidak lagi mewajibkan kewajiban yang lebih kecil/ ringan.
Contoh:
1.
Meraba dan
mencium tidak wajib di takzir, bagi orang yang melakukan zina karena telah
terkena kewajiban yang lebih besar yakni hadduz zina.
2.
Orang yang
melakukan zina muhson tidak wajib dijilid melainkan kena kewajiban yang lebih
besar yakni di rajam.
3.
Keluarnya
seperma tidak mewajibkan wudlu melainkan hanya wajib mandi saja.
Kaidah
ini tidak berlaku bagi wanita yang
mestruasi dan bersalin, selain itu berkewajiban mandi bila sudah suci tetap
berkewajiban pula wudlu bila akan mengerjakan sholat.
Pengecualian dari kaidah diatas adalah:
1.
Haid, nifas
dan wildah selain mewajibkan juga membatalkan wudlu.
2.
Pembeli budak
wanita dengan cara fasid wajib membayar mahar ganti rugi keperawanannya jika
budak tersebut disetubuhi.
3.
Orang yang
memberi kesaksian atas orang yang tertuduh melakukan zina muhson, kemudian
setelah terdakwa di rajam orang tersebut mencabut kesaksiannya maka ia wajib
dikhisos beserta hadud qodzaf.
25 Kaidah
Kedua Puluh Lima
ما ثبت با لشرع مقدم على ماوجب با لشرط
“Apa yang telah menurut syara, didahulukan
dari pada apa yang wajib menurut syarat.”
Ketetapan yang berasal dari syara harus
didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat
yang dibuat manusia, sehingga karenanya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu
yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar sholat fardhu, dan
sebagainya.
Demikian pula apabila sorang suami berkata
pada istrinya: ” saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,-
asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”. Perkataan memberi uang Rp.
10.000,- sebagai syrat untuk rujuk kembali adalah gugur, sebab pada hakikatnya
syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
Mengadakan perjanjian kemerdekaan terhadap
hamba perempuan yang teah mendapatkan anak karena dikumpuli tuannya adalah
tidak sah, kerena syara’ telah menentukan dia akan sendirinya merdeka, kalau
tuannya mati, tidak perlu lagi tadbir baginya.
26 Kaidah Kedua Puluh Enam
لُهُ حَرُمَ١تِّخَاذُﻩُ مَاحَرَمُ اِسْتِعْمَا
“Apa saja yang penggunaannya
diharamkan berarti diharamkan pula memperolehnya.” (as-Suyuthi, TT:102)
Sebagian
ulama memberikan batasan makruh, bukan haram seperti pada kaidah di atas. Misalnya,
memakan babi adalah haram, maka membelinya atau memeliharanya juga haram, dan
makan harta hasil penjualannya juga haram.
27 Kaidah Kedua Puluh Tujuh
مَاحَرَمُ اَخْذُہُ حَرَمُ
اِعْطَاؤُہُ
“Apa yang haram mengambilnya berarti haram pula memberikannya.”
(as-Suyuthi, TT:102)
Tidak
diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain. Apabila
diperbolehkan memberikannya berarti ia menolong dan mendorong pekerjaan yang
dosa dan diharamkan. Karena itu, diharamkan memberi uang suap, riba, upah
pelacur, pemberian pada khanin dan segala macam dari perbuatan yang fasiq
sebagaimana yang diharamkan dalam mengambilnya.
Pengecualian dari kaiah diatas adalah:
1. Memberi
suap hakim untuk mendapatkan haknya orang dzolim.
2. Uang
yang diberikan untuk menebus orang yang ditawan
3. Uang
yang diberikan kepada orang yang dikhawatirkan meninggalkan orang yang memberi
agar orang yang memberi mendapatkan haknya.
28 Kaidah Kedua Puluh Delapan
اَلْمَشْغُوْلُ لَايُشْغَلُ
“Sesuatu yang dijadikan obyek
perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan obyek perbuatan tertentu yang lain.”
(as-Suyuthi, TT:103)
Artinya,
apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek pada satu akad, maka obyek
tersebut tidak boleh dijadikan obyek pada akad-akad yang lain karena sudah
terikat pada pada satu akad.
Misalnya:
seseorang telah menggadaikan suatu barangnya sebagai jaminan hutang, maka
barang tersebut tidak boleh dijadikan sebagai jaminan pada hutang yang lain.
Dan juga orang yang sudah nikah kontrak dengan sesuatu perusahaan, tidak boleh
mengadakan kontrak kerja lagi pada waktu yang sama.
29 Kaidah Kedua Puluh Sembilan
لَا يُكَبِّرُ اَلْمُكَبَّرُ
“Yang sudah diperbesar tidak boleh
diperbesar.” (as-Suyuthi, TT:103)
Maksudnya: sesuatu yang hukumnya sudah mencapai
puncaknya tidak boleh diperbesar dengan
hukum yang lain. Contohnya: membasuh jilatan anjing merupakan perbuatan mencuci
paling sulit, yakni membasuh tujuh kali dengan air dan salah satunya harus
diberi debu. Kondisi tersebut tidak perlu atau tidak disunnahkan membasuh
masing-masing tiga kali seperti yang biasa diisyaratkan pada membasuh benda
najis lainnya.
Demikian
pula tidak perlu ada penguat lagi pda sumpah yang sudah disertai kesaksian
Allah.
30 Kaidah Ketiga Puluh
نِهِ قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرمَا شَيْىًٔا مَنِ اسْتَعْجَلَ
“Barang siapa tergesa-gesa terhadap sesuatu
yang belum tiba waktunya, maka harus menanggung akibat tidak mendapatkan
sesuatu itu.” (as-Suyuthi, TT:103)
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar
orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan dalam rangka
untuk mendapatkan haknya sebelum waktunya. Misalnya, dalam masalah warisan.
Waktu pembagian warisan adalah setelah kematian ayah yang meninggalkan warisan.
Seandainya si anak tergesa-gesa menginginkan warisan dengan cara membunuh
ayahnya, maka akibatnya justru ia tidak memperoleh harta warisan itu.
Dalam kaidah di atas terdapat pengecualian, yakni apabila
ketergesa-gesaan itu tujuannya untuk mashlahat maka diperbolehkan. Misalnya,
mengembalikan utang yang belum jatuh tempo pelunasannya.
0 komentar:
Posting Komentar