BABI
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Dalam kehidupan
sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat,
baik itu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sebagai tindak pidana atau
perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang
harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenrichting seperti yang
sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenrichting sangat tidak menguntungkan
dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat
dilakukan terhadap pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur
dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang
secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu pasal. Meskipun
adanya sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu pasal masih
dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur
yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau
terdakwa bisa dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.
Untuk mengkaji
lebih lanjut tentang perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini yang secara
terus menerus mengalami perubahan sikap, baik dari pembuat undang-undang maupun
hakim yang terwujud dalam yurisprudensi, apalagi dikaitkan dengan adanya
rancangan atau konsep baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang juga mendapat
porsi dalam pasal tersendiri, maka di dalam makalah ini ajaran sifat melawan
hukum perbuatan pidana penulis jadikan permasalahan tunggal karena pembahasan
dalam makalah ini tidak ingin melebar ke berbagai segi yang tidak relevan
dengan materi yang diangkat.
2.
Rumusan masalah
bagaimanakah pengembangan ajaran sifat melawan
hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia baik dalam praktek maupun dalam
konsep atau rancangan KUHP baru?
3.
Tujuan
Didalam pembuatan makalah ini kami bertujuan
untuk mengembangkan intelektual mahasiswa mengenai ilmu hukum, dengan tema yang
sudah kami tulis di atas kami mefokuskan kepada permasalahan apa sebenarnya
yang di sebut sifat melawan hukum dalam system hukum pidana Indonesia, praktek
maupun konsep KUHP. Semoga apa yang kami berikan memberikan mangfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana
1. Pengertian Sifat Melawan Hukum
Dalam hukum pidana, istilah "Sifat Melawan
Hukum" (SMH) memiliki empat makna:
a. Sifat
Melawan Hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk
dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b. Kata
"melawan hukum" dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian,
sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.
c. Sifat
Melawan Hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
dipenuhi.
d. Sifat
Melawan Hukum material mengandung dua pandangan. Pertama, dari sudut
perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik. Kedua, dari sudut sumber
hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan,
keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
2. Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
dikenakan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah
perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang, dan yang diancam sanksi pidana
ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang
tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH, kata “perbuatan” dalam perbuatan pidana
mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua
kejadian yang konkret yaitu:
1. Adanya kejadian yang tertentu,
2. Adanya orang
yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
B. Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian
adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja,
perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer
mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang
tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Sekarang soalnya ialah:
Apakah ukuran dari pada keliru atau tidaknya sesuatu perbuatan? Mengenai hal
ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah: apabila larangan telah mencocoki
larangan undang-undang, maka di situ ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya
perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang,
kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang
pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah
undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum
tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat
melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang
saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak
tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiel.
Seorang penulis (Vost) yang menganut pendirian
yang materiel, memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai:
perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.
Formulering ini dipengaruhi oleh arrest H.R. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R. Belanda mengatakan: “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Formulering ini dipengaruhi oleh arrest H.R. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R. Belanda mengatakan: “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Yang berpendapat formal adalah Simons: “Untuk
dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet.
Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah
perbuatan melawan hukum atau tidak. Selanjutnya dalam halaman 275 beliau
berkata: “Hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang material tidak
dapat diterima, mereka yang menganut paham ini menempatkan kehendak pembentuk
undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, di bawah pengawasan
keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak
selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan
hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila
mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”.
Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti ajaran yang materiil. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti ajaran yang materiil. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Kalau kita mengikuti pandangan yang material
maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah:
1. Mengakui
adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut
hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis; sedangkan pandangan yang formal
hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya
pasal 49. Pembelaan terpaksa (Noodweer).
2. Sifat
melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana,
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang
bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata,
barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus
dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam
rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik
unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya
dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur
melawan hukum di dalam rumusannya. Apakah konsekuensinya daripada pendirian
yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik?.
Konsekuensinya ialah: jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan
delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika
dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Sama halnya dengan unsur kemampuan
bertanggungjawab.
Konsekuensi yang lain adalah: jika hakim
ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka
dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak
mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal itu
terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
recht-vervolging).
Dalam beberapa pasal dalam undang-undang pidana digunakan perkataan “melawan hukum”, dalam pasal-pasal yang lain tidak. Menurut risalah penjelasan perkataan ini selalu disebut dalam susunan perkataan, apabila dikhawatirkan, bahwa barangsiapa yang bertindak dengan sah juga dikenakan undang-undang pidana.
Dalam beberapa pasal dalam undang-undang pidana digunakan perkataan “melawan hukum”, dalam pasal-pasal yang lain tidak. Menurut risalah penjelasan perkataan ini selalu disebut dalam susunan perkataan, apabila dikhawatirkan, bahwa barangsiapa yang bertindak dengan sah juga dikenakan undang-undang pidana.
Sistem ini lebih disukai daripada aturan yang
terdapat dalam bagian umum, bahwa tiada seorang yang melakukan kejahatan, yang
bertindak dengan sah, karena dikhawatirkan, bahwa orang-orang akan bertindak
sesuka hatinya. Berdasarkan sistem ini – dalam beberapa pasal dinyatakan dengan
tegas sifat melawan hukum, dalam pasal-pasal lain persoalan yang penting dalam
hal ini adalah: apakah peristiwa, apabila undang-undang tidak menyebut dengan
tegas perkataan “melawan hukum”, harus berlawanan dengan hukum dapat dipidana
atau cukup untuk dihukum, apabila dilakukan suatu perbuatan yang diterangkan
undang-undang.
Secara formal perbuatan yang demikian itu pasti
melawan hukum, karena bertentangan dengan undang-undang. Tetapi yang
dipersoalkan di sini bukan sifat melawan hukum yang formal, tetapi sifat
melawan yang materil, dan yang dimaksud ialah sifat melawan hukum yang sesungguhnya,
tidak hanya yang didasarkan atas keterangan undang-undang yang positif, tetapi
juga didasarkan atas asas-asas umum yang merupakan dasar dari hukum, juga
apabila ini berasal dari kaedah-kaedah yang tidak tertulis. Berhubung dengan
ketentuan yang tertulis dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, maka agar peristiwa dapat
dipidana setidak-tidaknya suatu persyaratan, bahwa peristiwa itu formal melawan
hukum.
BAB III
KESIMPULAN
1. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di
samping asas legalitas. Ajaran ini terdiri dari
ajaran sifat melawan hukum yang formil dan
materiil.
2. Yang
dimaksud perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meski
perbuatan itu
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana
3. Perkembangan
berikut, sifat melawan hukum material dibagi menjadi sifat melawan hukum
material dalam fungsi negatif dan fungsi positif. sifat melawan hukum material
dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak
dipidana. Adapun sifat melawan hukum material dalam fungsi positif mengandung
arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat,
maka perbuatan itu dapat dipidana.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, Drs. SH. 2007. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Jonkers, Mr. J.E. 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda. Jakarta: PT. Bina Aksara
Moeljatno, Prof. SH. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta
Moeljatno, Prof. SH. 2006. KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara
Soeharto RM, S.H., 1993. Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika
Soerodibroto, Soenarto, R. S.H. 2007. KUHP Dan KUHAP. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
0 komentar:
Posting Komentar