STUDI
KASUS
PENYELESAIAN
KASUS PIDAN KORUPSI DUA KEPALA DESA DI KABUPATEN BOJONEGORO MENURUT HUKUM
POSITIF DAN PERSPEKTIF PERADILAN ISLAM
Untuk
memenuhi tugas ujian akhir semester mata kulia
“Peradilan Islam”
Oleh
:
Ahmad
Zakariyah
NIM
: C73211075
Dosen
Pembimbing :
M. Hasan Ubaidillah, SH., M.Si
NIP.
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
FAKULTAS
SYARIAH
JURUSAN
SYASAH JINAYAH
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam sebuah pegadilan memiliki berbagai system dalam menjalankan
suatu peradilan, dan memiliki pedoman yaitu hukum positif yang mengiringi dalam
setiap pengambilan putusan. Di Negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah
beragama islam yang taat akan syariat
agama, tentu dalam penyelesaian permasalahan haruslah berdasarkan keyakinan
mereka sebagai penganut agama islam jikalau mereka ada permasalahan atau
sengketa.
Dimana kita harus sebentar
menoleh kebelakang untuk mempelajari bagaimana hukum islam, atau putusan
penyelesaian delik kaum muslim pada peradilan islam yang lampau, untuk mencari
hikmah atau sesuatu yang berharga yang bisa diterapkan pada peradilan di
Indonesia, agar tinggkat keadilan yang di terapkan hukum di Indonesia dapat
maksimal.
Dalam tindak pidana korupsi yang begitu banyak di lakukan oleh
pejabat tingkat tinggi sampai tingkat bawah mengharuskan bagi lembaga yang
menangani korupsi (KPK) harus bekerja extra untuk mencegah timbulnya/lebih
banyak lagi bermunculan kasus korupsi. Yang berakibat merugikan Negara.
Namun dalam peradilan islam ada sebuah lembaga yang khusus
berwenang dalam menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh pejabat Negara.
Termasuk kalau pejabat itu berkorupsi uang Negara. Nama lembaga itu adalah
lembaga madzlalim.
Dalam studi kasus ini kami akan menjelaskan tentang bagaimana
menjatuhkan hukuman yang pantas untuk seorang yang terpidana korupsi, yang
telah di jelaskan oleh undang-undang anti korupsi atau undang-undang Negara
lainya yang menyangkut tindak korupsi. Tak tertingal kami juga akan menjelaskan
bagaimana penjatuhan hukuman korupsi dari sudut persepektif peradilan islam.
1.2. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas
dan judul yang kami angkat, masalah yang kami bahas adalah bagaimana
penyelesaian kasus pidana korupsi dengan menggunakan hukum positif dan juga
dalam perspektif peradilan islam.
BAB II
PENYELESAIAN KASUS
2.1. Awal kasus korupsi kepala Desa
Hukum semakin ketat di Indonesia, tetapi bukan berarti Negara kita
minim tindakan kejahatan dan penyelewengan terutama tindak pidana korupsi,
sudah menjadi rahasia umum jika sekarang banyak sekali pejabat-pejabat Negara
yang melakukan pelanggaran korupsi, dari tingkat pusat maupun daerah-daerah
sampai perdesaan di seluruh Indonesia.
Kepolisian Resor Bojonegoro menetapkan dua orang kepala desa di
Kecamatan Malo sebagai tersangka kasus korupsi dana Bantuan Penanggulangan Padi
Puso (BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
2011.
Dua orang tersangka tesebut adalah Kepala Desa Kacangan berinisial
SS dan Kepala Desa Sarirejo berinisial SA. Kedua kepala desa tersebut awalnya
di tetapkan sebagai tersangka setelah diperoleh cukup bukti bahwa keduanya
menyelewengkan dana yang menjadi hak petani, di Desa Kacangan disalurkan dana
senilai Rp 148 juta untuk sekitar 30 petani. Sedangkan di Desa Sarirejo Rp 325
juta. Jumlah yang diberikan kepada petani bervariasi. Sesuai dengan petunjuk
pelaksana program BPPP, minimal Rp 3,5 juta per hektare. Tapi, uang tersebut
tidak sampai ke petani, melainkan ke kepala desa.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, ditemukan sejumlah
penyimpangan. Temuan polisi juga dilengkapi data dari petugas pemantau lapangan
di Kecamatan Malo. Laporan keuangan dari dua desa tersebut tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Polisi belum menahan dua kepala desa tersebut. Tapi, aparat Polres
Bojonegoro dan Polsek Malo terus memantaunya. Sebab, keduanya masih akan
dimintai keterangan karena polisi masih terus mengembangkan penyelidikannya.
Tidak tertutup kemungkinan ada kepala desa lain yang melakukan perbuatan serupa
karena dananya cukup besar.
Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro, Subekti, menjelaskan dana BPPP
diperuntukkan bagi petani yang mengalami puso akibat banjir pada 2011.
Keseluruhan bantuan berjumlah sekitar Rp 37 miliar untuk 560 kelompok tani yang
beranggotakan 30 hingga 60 orang. Pemberian bantuan langsung ditransfer ke
rekening petani.
Dinas Pertanian maupun petugas lapangan tidak ikut campur tangan
dalam mengurus bantuan. Bahkan, petugas lapangan hanya menangani pekerjaan yang
bersifat teknis pertanian.
2.2. Menurut hukum positif
Di dalam
undang-undang mengenai anti korupsi kedua kepala desa tersebut terbukti
bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Pasal 18 UU No 31/1999 yang telah diubah
dan ditambah dengan UU No.20 tahuin 2001 Pasa l
55 ayat (1) ke 1 Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dinilai
terbukti melakukan korupsi dana Bantuan
Penanggulangan Padi Puso (BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun 2011. di Desa Kacangan disalurkan dana senilai Rp 148 juta
untuk sekitar 30 petani. Sedangkan di Desa Sarirejo Rp 325 juta. Jumlah yang
diberikan kepada petani bervariasi. Sesuai dengan petunjuk pelaksana program
BPPP, minimal Rp 3,5 juta per hektare. Dengan tuntutan 4 (empat) tahun penjara
kepada kedua kepala desa dan denda untuk kepala desa kacangan Rp. 100 juta. dan
untuk kepala desa sarirejo Rp.200 juta.
2.3. Menurut perspektif peradilan islam
Dalam
perspektif peradilan islam tindak pidana korupsi termasuk kewenangan lembaga
madzlalim untuk menyelesaikan perkara korupsi, yang mana lembaga ini khusus
menyelesaikan perkara yang di lakukan oleh pejabat Negara. Dalam kasus ini
lembaga madzlalim berpedoman dari salah satu ayat al-Qur’an dalam surat
al-baqarah : 188 yang menjadi delik pekara korupsi :
وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu
memakan harta yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui”
Islam
mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim yang
mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem pengawasan
administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam memberikan dan
menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia
adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan hukuman tersebut adalah
memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan,
sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat.
Korupsi
adalah merupakan bentuk pelanggaran dari sisi UU Negara maupun syri’at agama.
meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku korupsi
dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai
beberapa kemiripan, diantaranya ialah mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu,
dan lain sebagainya. Maka perbuatan tersebtu termsuk dalam jarimah ta’zir yang
penting. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan oelh
ahmad dan tirmizy, yang artinya :
Diriwayatkan
oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak ada (hukuman) potong tangan
bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy).
Sebagai
aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuan ta’zir atas perbuatan maksiat
apabila dikehendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan
keadaan yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir tidak mungkin ditentukan hukumannya
sebelumnya, sebab hal tersebut tergantung pada sifat-sifat tertentu, dan
apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi dilarang
dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut merugikan kepentingan dan
ketertiban umum, dan apabila perbuatan tersebtu telah dibuktikan didepan
pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan
hukuman ta’zir yang sesuai untuknya. Perjatuhan hukuman ta’zir untuk
kepentingan dan ketertiban umum ini merujuk terhadap perbuatan rasulullah saw,
dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta setelah
diketahui buktinya ia tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya. Syariat islam
sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk ta’zir, akan tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya,
seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapan
sepenuhnya diserahkan terhadap kholifah (penguasa) karena dalam peradilan yang
di jalankan lembaga madzlalim kholifahlah yang menjadi pemutus hukuman atau
seseorang yg di tunjuk untuk mewakilinya dalam menjadi hakim lembaga madzlalim
itu sendiri, dengan kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman
yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1.
Menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2.
Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi
tanpa harus merendahkan martabat pelakunya.
3.
Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa
adil.
4.
Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama
kedudukannya didepan hokum.
Seorang
kholifah dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringannya perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi hukuman
oleh nash, seorang kholifah tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya.
Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara
tegas, akan tetapi perampasan dan penghianatan dapat diqiyaskan sebagai
penggelapan dan korupsi yang bisa berakibat hukuman mati pagi pelaku.
Tetapi
kalau yang melakukan korupsi itu adalah kepala desa. Menurut saya dalam
perspektif peradilan islam jikalau saya yang menjadi pengganti kholifah dalam
memutuskan hukuman apa yang pantas untuk ke dua kepala desa tersebut, saya akan
meminta kembali dana atau uang yang mereka korupsi kembali dan memberikan
hukuman cambuk didepan umum atau masyarakat desa agar menjadi contoh, dan
memasukanya kedalam penjara. Karena dalam tindak korupsi yang dilakukan oleh
kedua kepala desa tersebut, tidak sampai menimbulkan jatuhnya Negara atau kerisis yang sanggat
besar, yang jika itu terjadi pelaku bisa saya hukum mati karna temasuk
pengkhiyanatan kepada Negara.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas megenai bagaimana penyelesaian atau penjatuhan hukuman yang
tepat bagi kedua kepala desa yang melakukan korupsi dana Bantuan Penanggulangan Padi Puso
(BPPP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011.
Yaitu jika kita menjatuhkan hukuman yang berpegang pada Undang-undang maka Dengan
tuntutan 4 (empat) tahun penjara kepada kedua kepala desa dan denda untuk
kepala desa kacangan Rp. 100 juta. dan untuk kepala desa sarirejo Rp.200 juta.
Tetapi
jika dalam sudut pandang perspektif peradilang islam untuk menjatuhkan hukuman
kepada pelaku korupsi tidaklah muda maka dari itu lembaga madzlalim yang
bertugas menangani masalah tersebut menjatuhkan hukuman Ta’zir. Ta’zir ialah hukuman
terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sangsinya didalam
nash.dalam hal ini kholifah sebagai pemutus hukuman, di berikan kewenangan
penuh untuk memberikan hukuman yang pantas atau sepadan dengan apa yang pelaku
perbuat.
Kalau
dalam pendapat saya dalam perspektif peradilan islam jikalau saya yang menjadi pengganti
kholifah dalam memutuskan hukuman apa yang pantas untuk ke dua kepala desa
tersebut, saya akan meminta kembali dana atau uang yang mereka korupsi kembali
dan memberikan hukuman cambuk didepan umum atau masyarakat desa agar menjadi
contoh, dan memasukanya kedalam penjara. Karena dalam tindak korupsi yang
dilakukan oleh kedua kepala desa tersebut, tidak sampai menimbulkan jatuhnya Negara atau kerisis yang sanggat
besar, yang jika itu terjadi pelaku bisa saya hukum mati karna temasuk
pengkhiyanatan kepada Negara.