Pages

Minggu, 06 Oktober 2013

MAKALAH Kaidah ke 21-30 dari 40 kaidah Usul Fiqih

BAB II
PEMBAHASAN

2          21    Kaidah Keduapuluh Satu
الفرض افضل من النفل
“fardhu itu lebih utama daripada sunnat.” (as-Suyuthi.TT:99)
                        Misalnya seseorang yang masih mempunyai tanggungan menqadha’ puasa ramadhan, kemudian ia melakukan puasa bulan syawal dengan niatan puasa, maka yang lebih baik dan yang lebih utama adalah melakukan puasa qadha’ ramadhan dulu, karena itu lebih penting.
                        Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib, ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karasteristik semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.
Dasar kaidah
                        Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan pengertian di atas dengan berbagai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah ra:
من تقرب فيه بخصلة من خصال الخير كان كمن ادى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كان كمن ادى سبعين فريضة فيم سواه (رواه ابن خزيمة عن سلمان الفا رسى )            
“Sesungguhnya Rasullah bersabda: Barang siapa yang melakukan taqorrub (ibadah sunnah) kepda Allah SWT. Di bulan ramadlon, maka ia akan mendapakan pahala sebagai ia melakukan satu ibadah fardu dibulan ramadlon, maka seperti halnya mengerjakan 70 kali ibadah faardu pada selain bulan romadlon
                        Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan adalah sunnah dalam bulan ramadlon dengan fardlu diluar romadlon, dan antara fardlu dibulan romdlon dengan 70 fardlu dibulan romdlon. Semua ini memberi pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
Sebagian ulama’ menganggap hal-hal berikut ini sebagai pengecualian, yaitu:[1]
1.      Membebaskan pembayaran orang yang dalam kesulitan, lebih utama dari pada penundaan pembayaran.
2.      Memulai memberi salam hukumnya sunat, tetapi lebih utama dari pada yang menjawabnya , sedang menjawab salam hukumnya wajib.
3.      Wudlu sebelum masuk waktu sholat itu sunnah, dan itu lebih baik dari pada wudlu (yang wajib) karena masuk waktu, sebab wudlu sbelum waktu sholat mengandung beberapa kemaslahatan.

2           22    Kaidah Keduapuluh Dua

الفضيلة المتعلقة بذات العبا دة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan yang dipautkan dari esensi ibadah lebih baik daripada dipautkan dengan tempatnya.”(as_Suyuthi.TT:100)
Misalnya shalat fardhu di masjid lebih utama daripada di luar masjid, namun shalat di luar masjid berjama’ah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian. Shalat sunnah dirumah lebih utama dari pada di masjid, sebab dengan shalat di rumah menambah kekusyukan, dan keihklasan seseorang dari shalatnya.[2]
Keutamaan ibadah tanpa melihat tempat dan waktu ini sangat logis dan wajar, karena penyempurnaan terhadap entitas ritual ibadah itu sendiri tentu harus diutamakan dari pada sibuk dengan faktor eksternal diluar ibadah. Dalam tataran teoritis-praktis, pelaksanaan ibadah misalnya sholat, jika sholat dilangsungkan secara berjamaah, akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan dilakukan sendirian.
Dalam kaidah di atas terdapat pengecualian yaitu: meskipun kaidah ini diterapkan dengan cermat pada sebagian besar permasalahan yang tercakup didalamnya, namun tak urung, beberapa obyek tidak dapat diberlakukan sesuai dengan terapan kaidah.

23  Kaidah Keduapuluh Tiga
الواجب لايترك الا لوا جب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula.”(as-Suyuthi.TT:101)
                        Misalnya seseorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus meninggalkan  atau membatalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya, karena taat pada suami itu jauh lebih penting (wajib) daripada puasa sunnat.
ما كان ممنوعا اذاجا  زوجب
“semua yang dilarang, apabila boleh, menjadi wajib”
                        Jadi dari kaidah-kaidah ini dapat ditegaskann, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengharuskan unutuk meninggalkannya.
Contoh:
1.    Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/ melukai adalah tindak pidana.
2.    Wajibnya makan bangkai bagi orang yang terpaksa, kalau tidak, pasti haram hukumnya.
3.    Khitan adalah wajib, jika tidak tentu haram hukumnya. Sebab khitan itu melukai/ memotong anggota badan, disamping membuka aurat yang paling vital bahkan memegangnya lagi.
Pengecualian dari kaidah di atas ini adalah:
1.    Sujud syahwi dan syujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak boleh dikerjakan.
2.    Melihat wanita yang akan dinikahi itu tidak wajib, tetapi kalau saja tidak disyari’atkan tentu tidak boleh dilakukan.
Istinbath dengan kaidah ini, maka untuk memperoleh fadilah shalat berjama’ah, shaf awal harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum membentuk shaf lagi, sesungguhnya jika masih ada yang kosong untuk mengisinya tentu melewati shaf jama’ah. Padahal melangkahinya itu haram atau makruh.

24    Kaidah Keduapuluh Empat
ما اوجب اعظم الامرين بحصوصه لايوجب دونهما بعما بعمومه
                        “apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususanya, tidaklah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena keumumannya.” (as-Suyuti.TT:101)
                        Misalnya keluarnya air mani (sperma) tidak mewajibkan wudhu walaupun itu merupakan salah satu benda yang dari kemaluan yang membatalkan wudhu, sebab dari kekhususanya telah mewajibkan mandi, dan mandi merupakan akibat yang lebih besar daripada sekedar wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
                        Apabila suatu kejadian (perbuatan) dapat ditinjau dari sifat/ keadaan umum dan khusus, kemudian apabila dari kekhususannya sudah mewajiban suatu kewajiban yang besar/ berat, maka dari keumumannya tidak lagi mewajibkan kewajiban yang lebih kecil/ ringan.
Contoh:
1.    Meraba dan mencium tidak wajib di takzir, bagi orang yang melakukan zina karena telah terkena kewajiban yang lebih besar yakni hadduz zina.
2.    Orang yang melakukan zina muhson tidak wajib dijilid melainkan kena kewajiban yang lebih besar yakni di rajam.
3.    Keluarnya seperma tidak mewajibkan wudlu melainkan hanya wajib mandi saja.
                        Kaidah ini  tidak berlaku bagi wanita yang mestruasi dan bersalin, selain itu berkewajiban mandi bila sudah suci tetap berkewajiban pula wudlu bila akan mengerjakan sholat.
Pengecualian dari kaidah diatas adalah:
1.    Haid, nifas dan wildah selain mewajibkan juga membatalkan wudlu.
2.    Pembeli budak wanita dengan cara fasid wajib membayar mahar ganti rugi keperawanannya jika budak tersebut disetubuhi.
3.    Orang yang memberi kesaksian atas orang yang tertuduh melakukan zina muhson, kemudian setelah terdakwa di rajam orang tersebut mencabut kesaksiannya maka ia wajib dikhisos beserta hadud qodzaf.

25    Kaidah Kedua Puluh Lima
ما ثبت با لشرع مقدم على ماوجب با لشرط
                        “Apa yang telah menurut syara, didahulukan dari pada apa yang wajib menurut syarat.”
                        Ketetapan yang berasal dari syara harus didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat manusia, sehingga karenanya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar sholat fardhu, dan sebagainya.
                        Demikian pula apabila sorang suami berkata pada istrinya: ” saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”. Perkataan memberi uang Rp. 10.000,- sebagai syrat untuk rujuk kembali adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
                        Mengadakan perjanjian kemerdekaan terhadap hamba perempuan yang teah mendapatkan anak karena dikumpuli tuannya adalah tidak sah, kerena syara’ telah menentukan dia akan sendirinya merdeka, kalau tuannya mati, tidak perlu lagi tadbir baginya.
26    Kaidah Kedua Puluh Enam
لُهُ حَرُمَ١تِّخَاذُﻩُ مَاحَرَمُ اِسْتِعْمَا
 “Apa saja yang penggunaannya diharamkan berarti diharamkan pula memperolehnya.” (as-Suyuthi, TT:102)
                        Sebagian ulama memberikan batasan makruh, bukan haram seperti pada kaidah di atas. Misalnya, memakan babi adalah haram, maka membelinya atau memeliharanya juga haram, dan makan harta hasil penjualannya juga haram.

27    Kaidah Kedua Puluh Tujuh
مَاحَرَمُ اَخْذُہُ حَرَمُ اِعْطَاؤُہُ
“Apa yang haram mengambilnya berarti haram pula memberikannya.” (as-Suyuthi, TT:102)
            Tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain. Apabila diperbolehkan memberikannya berarti ia menolong dan mendorong pekerjaan yang dosa dan diharamkan. Karena itu, diharamkan memberi uang suap, riba, upah pelacur, pemberian pada khanin dan segala macam dari perbuatan yang fasiq sebagaimana yang diharamkan dalam mengambilnya.
Pengecualian dari kaiah diatas adalah:
1.    Memberi suap hakim untuk mendapatkan haknya orang dzolim.
2.    Uang yang diberikan untuk menebus orang yang ditawan
3.    Uang yang diberikan kepada orang yang dikhawatirkan meninggalkan orang yang memberi agar orang yang memberi mendapatkan haknya.

28    Kaidah Kedua Puluh Delapan
اَلْمَشْغُوْلُ لَايُشْغَلُ
 “Sesuatu yang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan obyek perbuatan tertentu yang lain.” (as-Suyuthi, TT:103)
                        Artinya, apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek pada satu akad, maka obyek tersebut tidak boleh dijadikan obyek pada akad-akad yang lain karena sudah terikat pada pada satu akad.
                        Misalnya: seseorang telah menggadaikan suatu barangnya sebagai jaminan hutang, maka barang tersebut tidak boleh dijadikan sebagai jaminan pada hutang yang lain. Dan juga orang yang sudah nikah kontrak dengan sesuatu perusahaan, tidak boleh mengadakan kontrak kerja lagi pada waktu yang sama.

29    Kaidah Kedua Puluh Sembilan
لَا يُكَبِّرُ  اَلْمُكَبَّرُ
 “Yang sudah diperbesar tidak boleh diperbesar.” (as-Suyuthi, TT:103)
                        Maksudnya: sesuatu yang hukumnya sudah mencapai puncaknya  tidak boleh diperbesar dengan hukum yang lain. Contohnya: membasuh jilatan anjing merupakan perbuatan mencuci paling sulit, yakni membasuh tujuh kali dengan air dan salah satunya harus diberi debu. Kondisi tersebut tidak perlu atau tidak disunnahkan membasuh masing-masing tiga kali seperti yang biasa diisyaratkan pada membasuh benda najis lainnya.
                        Demikian pula tidak perlu ada penguat lagi pda sumpah yang sudah disertai kesaksian Allah.

30    Kaidah Ketiga Puluh
                                 نِهِ            قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرمَا شَيْىًٔا  مَنِ اسْتَعْجَلَ
                         “Barang siapa tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum tiba waktunya, maka harus menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu itu.” (as-Suyuthi, TT:103)
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebelum waktunya. Misalnya, dalam masalah warisan. Waktu pembagian warisan adalah setelah kematian ayah yang meninggalkan warisan. Seandainya si anak tergesa-gesa menginginkan warisan dengan cara membunuh ayahnya, maka akibatnya justru ia tidak memperoleh harta warisan itu.
                        Dalam kaidah di atas terdapat pengecualian, yakni apabila ketergesa-gesaan itu tujuannya untuk mashlahat maka diperbolehkan. Misalnya, mengembalikan utang yang belum jatuh tempo pelunasannya.




[1] Mudjib Drs H Abdul,1993, kaidah-kaidah ilmu fiqih (al-qowa’idatul fiqhiyyah), Jakarta, kalam mulia
[2] Ibid, hal 83

0 komentar:

Posting Komentar