Pages

Rabu, 05 Juni 2013

TAFSIR AYAT PIDANA TENTANG PENCURI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Masyarakat Islam harus saling menjaga, bagi warga negara Islam meskipun berbeda kepercayaan agamanya, apa saja yang dapat menolak keinginan untuk mencuri dari setiap jiwa yang normal. Masyarakat Islam harus memberikan jaminan kepada mereka untuk mencari kebutuhan hidup, memberikan jaminan pengajaran dan pendidikan, memberikan jaminan keadilan dan pemerataan. Pada waktu yang sama Islam mengharuskan setiap kepemilikan pribadi dalam masyarakat Islam atau atau dalam negara Islam haruslah tumbuh dari yang halal. Kemudian menjadikan barang milik pribadi itu memiliki fungsi sosial yang memberi manfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan gangguan kepada mereka. Karena itu, Islam menolak setiap keinginan mencuri dari setiap jiwa yang normal.
Islam memberika hak kepada masyarakat Islam untuk bertindak tegas di dalam memberikan hukuman kepada pelaku pencurian dan pelanggaran terhadap hak milik individu dan mengganggu keamanan masyarakat, di samping memberikan hukuman yang tegas, Islam menolak dijatuhkannya hukuman apabila kasusnya masih samar. Islam memberikan jaminan penuh kepada tersangka atau terdakwah sehingga ia tidak dijatuhi hukuman tanpa buktu yang akurat (asas praduga tak bersalah).
Sesungguhnya peraturan Islam itu sangat lengkap. Sehinnga, tidaklah dapat dimengerti hikmah persoalan-persoalan persial dalam syari’at kecuali dengan memperhatikan karakteristik peraturan peraturan Islam ini, dasar-dasarnya, prinsip-prinsipnya, dan kandungan-kandungannya. Persoalan-persoalan parsial ini juga tidak dapat diterapkan kecuali dengan memberlakukan peraturan itu secara menyeluruh dengan segala keterkaitannya. Memisahkan suatu hukum dari hukum-hukumIslam, atau salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Islam di bawah naungan sebuah peraturan yang tidak totalitas islami, tidak ada gunanya. Pasalnya bagian yang dipotong dari itu tidak dapat dianggap sebagai pelaksanaan Islam. Karena islam itu tidak terbagi-bagi dan tidak terpilah-pilah. Islam merupakan sebuah sistem utuh yang penerapannya meliputi semua aspek kehidupan.
Di anta hak individu dalam masyarakat ini adalah hak untuk mendapatkan harta secara halal, bukan dari jalan riba, menipu, menimbun, dan me rampas upah karyawan. Setelah mendapatkan harta yang halal itu ia keluarkan zakatnya. Di antara hak individu dalam sistem kemasyarakatan seperti ini, ialah mendapatkan jaminan keamanan terhadap harta pribadinya. Tidak boleh hartanya dicuri ataupun dirampas dengan jalam apapun. Akan tetapi jika didapatkan kesamaran apakah ia didesak oleh kebutuhan atau yang lainnya, maka prinsip umum dalam islam menetapkan bahwa hukuman harus ditolak karena persoalannya masih samar.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Tafsir ayat dan terjemahannya.
2.      Asbabun Nuzulnya.
3.      Kosa katanya.
4.      Istimbatul ahkam (ketetapan hukum)

1.3  Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan kami, selain itu juga ditujukan untuk memenuhi tugas.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir Ayat dan Terjemahan
Al-Ma’idah 38-39
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨) فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٩)
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka siapa yang tobat setelah berbuat kejahatannya, dan memperbaiki perbuatannya. Maka Allah akan menerima tobatnya, sungguh Allah Maha PengampunlagiMahaPenyayang.”

B.     ASBABUN-NUZUL
Pada zaman Rasulullah SAW ada seseorang perempuan yang melakukan pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT pada ayat ke-38 ini. pada suatu waktu dia bertanya kepada Rasulullah SAW: “ adakah tobatku kamu terima, wahai Rasulullah?” sehgubungan dengan pertanyaan Rasulullah itu Allah SWT menurunkan ayat ke 39 yang dengan tegas memberikan keterangan, bahwa Allah SWT selalu menerima tobat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia untuk memperbaiki diri, .emgganti perbuatan jahat itu dengan perbuatan yang baik.[1](HR. Ahmad dan yang lain dari Abdillah bin Amrin)
Pada suatu waktu ada seorang perempuan mencuri perhiasan dan tetangkap basah. Kemudian orang-orang yang menangkap itu mengadukannya kepada Rasulallah Saw, seraya berkata: “ wahai Rasulullah, perempuan ini telah melakukan pencurian.” Rasulullah SAW besabda “ potonglah tangan kanannya!” perempuan itu berkata : “ adakah aku boleh bertaubat?”n jawab Rasulullah SAW : “ kamu pada hari ini terlepas dari kejelekan sebagaimana kamu lahir dari kandungan ibumu.” – diampuni seluruh dosanya. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-39 sebagai ketegasan, bahwa Dia selalu menerima taubat orang yang melakukan kejahatan, asalkan bersedia untuk memperbaiki perbuatannya.[2](HR. Ibnu Jarir dari Abu Kuraib dari Musa bin Dawud dari Ibnu Hai’ah dari Hayyim bin Abdillah dari  Abdirrahman dari Abdillah bin Amrin)


C.    KOSA KATA
Sebagian ulama fiqh dari mazhab Zahiri mengatakan “Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong tanpa memandangapakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak,” karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya. (Al-Maidah: 38)


D.    ISTIMBATUL AHKAM
Sesungguhnya landasan hukum potong tangan adalah kajian kejiwaan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, hukuman potong tangan ini adalah hukuman yang cocok bagi setiap individu. Pada waktu yang sama, juga tepat bagi masyarakat karena hukuman ini akan meminimalisir kejahatan dan menentramkan masyarakat. Kalu hukuman itu paling cocok bagi perorangan dan tepat bagi masyarakat, maka itu merupakan hukuman yang paling utama dan paling adil.
Namun, hukuman itu belum mencukupi bagi sebagian orang untuk membenarkan hukuman potong tangan. Karena, mereka memandangnya, sebagai hukuman yang amat kejam. Akan tetapi argumentasi tersebut sangatlah lemah, karena tidaklah hukuman dikatakan iqaab apabila lunak dan lemah, bahkan terkesan bermain-main dan gurau atau yang semakna dengan itu. Karena itu, sifat keras atau pedih  ini harus tercermin di dalam ‘uquubah ‘hukuman’ sehingga tepat bila itu disebut ‘uquubah.
Allah SWT Yang Maha Penyayang diantara siapapun yang penyayang berfirman untuk menekankan hukuman pencurian ini :
“. . . Potonglah tangan mereka (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah . . .”
            Hukuman ini merupakan siksaan dari Allah yang menakutkan. Sedangkan, menakut-nakuti orang dalam melakukan kejahatan itu merupakan ekspresi kasih sayang terhadap orang yang hatinya bermaksud melakukannya. Karena, menakut-nakuti ini berarti mencegah yang bersangkutan dari perbuatan yang jahat itu. Juga sebagai rahmat bagi kelompok (masyarakat) karena dapat menimbulkan ketenangan dan ketentraman bagi mereka.[3]
Dahulu di masa Jahiliah hukum potong tangan ini berlaku, kemudian disetujui oleh Islam dan ditambahkan kepadanya syarat-syarat lain, seperti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan qiamah, diat, qirad, dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan kemaslahatan.
            Menurut suatu pendapat, orang yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa Jahiliah adalah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang lelaki yang dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Khuza’ah, karena mencuri harta perbendaharaan ka’bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.
Sebagian ulama fiqh dari mazhab Zahiri mengatakan “Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong tanpa memandangapakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak,” karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya. (Al-Maidah: 38)
Mereka tidak mempertimbangkan adanya nisab dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang dicuri, bahkan mereka hanya memandang dari delik pencuriannya saja.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al- hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ibnu abbas mengenai maknafirman-Nya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya. (Al-Maidah: 38)
Apakah makna ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, “ ayat ini mengandung makna umum.” Hal ini barangkali merupakan suatu kebetulan dari Ibnu abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (mazhab Zahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya; hanya Allah yang mengetahui.
            Jumhur ulama mempertimbangkan adanya nisab dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih diperselisihkan di kalangan mereka. Adapun imam madzab yang empat, maka masing-masing menentukan nisab harga barang curiannya.[4]
            Imam Malik menetapkan pencurian itu sedikitnya berhraga tiga dirham berdasarkan hadist Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw. Telah memotong tangan pencuri karena mencuri yang harganya tiga dirham (Bukhari, Muslim)
            Imam Syafi’i memetapkan pencurian itu seperempat dinar berdasarkan hadist Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw, bersabda
Tangan pencuri dapat dipotong dalam pencurian yang seperempat dinar ke atas (Bukhari, Muslim) Dan tidak dipotong tangan pencuri kecuali dalam pencurian seharga seperempat dinar ke atas. (Muslim)
Hadist ini merupakan ketegasan dalam masalah ini, sebab dengan jelas memberi batas minimnya pencurian yaitu seperempat dinar dinar sedang harga perisai yang disebut tiga dirham juga berarti seperempat dinar, sebab satu dinar dua belas dirham, maka seperempatnya tiga dirham. Sehingga dapat dipertemukan pendapat Malik dan Syafi’i.
Dahulu nilai seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar sama dengan dua belas dirham.
Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri sesuatu yang harganya lebih rendah daripada harga sebuah tameng.
Ketika ditanyakan kepada Siti Aisyah r.a. tentang harga sebuah tameng di masa lalu, ia menjawab, “Seperempat dinar.” Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan nas-nas yang menunjukkan tidak adanya syarat 10 dirham (bagi hukuman potong tangan untuk pencuri.
Adapun Imam Abu Hanifah bahwa nisab kasus pencurian adalah sepuluh dirham mata uanh asli, bukan mata uang palsu.  Dia berdalil bahwa harga perisai itu sepuluh dirham menurut keterangan Ibnu Abbas. Ia berkata harga perisai di masa Rasulullah saw sepuluh dinar. Kemudian Abu Bakar ibn Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu’ib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda:
Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri senilai lebih rendah daripada harga sebuah tameng.
Sedangkan jumhur ulama membantah pegangan dalil mazhab Zahiri yang bersandarkan kepada hadist Abu Hurairah r.a. yang mengatakan :[5]
Dia mencuri sebuah telur, maka tangannya dipotong, dan dia mencuri seutas tali, maka tangannya dipotong.
Melalui jawaban-jawaban berikut, yaitu :
1.      Hadist ini mansukh dengan hadis Aisyah. Tapi sanggahan ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat tarikh peninggalannya harus dijelaskan.
2.      Makna lafaz al-baidah dapat diinterpretasikan dengan pengertian topi besi, sedangkan tali yang dimaksud adalah tali perahu.
3.      Bahwa hal ini merupakan sarana yang menunjukkan pengertian bertahap dalam menangani kasus pencurian, yaitu dimulai dari sedikit sampai jumlah yang banyak, yang mengakibatkan pelakunya dikenai hukum potong tangan karena mencuri dalam jumlah sebanyak itu.
Dan mungkin hadis ini sebagai kabar tentang kejadian di masa jahiliah yang berlaku potong tangan terhadap pencurian yang kecil maupun besar, termasuk dalam hikmat syariat dalam bab jinayat pelanggaran jika seseorang memotong tangan orang maka didenda lima ratus dinar untuk tiap tangan, tetapi jika melakukan khinayat pencurian maka dihargai hanya seperempat dinar.
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang semourna, maslahat, dan rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya  di dalam  Bab “Tindak Pidana (Pelukaan)” sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan sehingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab pencurian sangatlah sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah sepermpat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal.[6]














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mencuriadalahmengambilharta orang lain, yang terlindungidantersembunyi. Maka, harta yang diambilituharuslahharta yang berharga. Batas minimal harta yang disepakatiolehparafuqahamusliminapabiladiambildaritempatpenyimpanan yang tersembunyiditetapkansebagaitindakanpencurian yang diancamhukumanituialah yang senilaiseperempat dinar, yaknisekitarduapuluhlimapondsterlingsekarang.
Hukumpotongtanganitudilakukanterhadaptangankananhinggapergelangan.Apabilasetelahitudiamasihmencurilagimakadipotonglah kaki kirinyahinggamata kaki.Demikianlahukuranpotongtangan yang disepakatiolehparafuqaha’.
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang semourna, maslahat, dan rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya  di dalam  Bab “Tindak Pidana (Pelukaan)” sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan sehingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab pencurian sangatlah sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah sepermpat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal.







DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Abu Bahrun. TafsirIbnuKatsir.PercetakanSinarBaruAlgensindo offset; Bandung 2001

Bahreisy, SalimdanBahreisy Said.Terjemahansingkattafsiribnukatsir, PT BinaIlmu; Surabaya. 1993

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.GemaInsani:Jakarta. 2002.

Abdulkarim, Amrullah Abdulmalik, 1998. Tafsir Al-Azhar. Jakarta : Pustaka Panjimas.

Ali Zainudin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar grafika.

Al-imam, Abl fida ismail ibnu kasir ad-dimasyiqi. 2004. Tafsur Ibnu Kasir.Bandung : Sinar Baru Algersindo.

Al-Mahalliy, Imam Jalaludin. AsSuyuthi Imam Jalaludin. 1990. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung : Sinar Baru.

Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Jakarta : Syaamil Cipta Media.




[1] Asbabun Nuzul : Studi Pendalaman Al-quran hlm.312
[2] ibid
[3] Quthb Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran. Gema Insani:jakarta, 2002, cetakan pertama hlm. 223
[4] Bahreisy Salim dan Said Bahreisy. Tafsir Singkat Ibnu Katsier. PT. Bina Ilmu:Surabaya, cetakan pertama, 1986. Hlm 91.
[5] Kasir Ibnu. Tafsir Ibnu Kasir Juz 6. Sinar Baru Algensind:Bandung,  Cetakan kedua.,2003. Hlm. 437.
[6] Kasir Ibnu. Tafsir Ibnu Kasir Juz 6. Sinar Baru Algensind:Bandung,  Cetakan kedua.,2003. Hlm. 438.

0 komentar:

Posting Komentar