Pages

Selasa, 01 Oktober 2013

MAKALAH TENTANG HIBAH DAN HADIAH

BAB I
PENDAHULUAN
Dari pendapat salah satu imam yaitu Imam Syafi‘i membagi at’iyyah menjadi beberapa bagian. Menurutnya, pemberian harta benda secara suka rela atau pemberian tanpa ganti rugi dari seseorang kepada orang lain itu dibagi dua. Pertama, pemberian yang ditangguhkan sampai meninggalnya sang pemberi; Kedua, pemberian yang terlaksana sewaktu pemberi masih hidup, yang terdiri dari: Pemberian hak milik secara murni, meliputi hibah, hadiah dan sedekah, yakni pemberian harta benda di jalan Allah. Kepemilikan harta diberikan kepada Allah dan manfaatnya diberikan untuk umum.
Dasarnya pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan pengertian sedekah, hadiah dan athiyah, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
1. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan “sedekah”
2. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta dinamakan “hadiah”
3. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dinamakan “hibah”
4. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit menjelang kematiannya dinamakan “athiyah”
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang Hibah dan Hadiah. Adaun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah persamaan dan perbedaan hadiah dan hibah,?
2. Apakah hukum hibah, dan hadiah serta ketentuan masing-masing?




     BAB II
PEMBAHASAN
1.     Hadiah

Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah di sebutkan, hadiah itu dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia. Dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa.suatu hadiah dapat menjadikan orang yang memberi dapat menimbulkan kecintaanh pada diri penerima hadiah kepadaya, selain itu tangan di atas lebihbaik daripada tangan di bawah.
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah SAW menerima hadiah dan menganjurka untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadist di dalam shahihnya (2585) dan hadist ini memiliki hadist-hadist pendukung yang lain.dari ‘Aisyah ra berkata : “Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya”.
Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadist Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan shadaqah maka beliau berkata pada para sahabatnya “makanlah!” sedangka beliau tidak makan.dan apabila di katakan “hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya tanda penerimaan beliau.lal beliau makan bersama mereka. (HR.Al Bukhari 2576) dan (Muslim 1077).
Dan hadiah menurut istilah syar’I yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya suatu benda kepada seseorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.dan disana ada sis keumuman dan kekhususan dikalangan para ulama’ antara hibah pemberian dan shadaqah.
Dan proses definisi diantara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah allah ta’ala.Sedangkan hadiah diberikan kepada orang fakir dan orang kaya yang di niatkan untuk meraih rasa cinta dan balas budi atas hadiah yang telah diberikan.

A.    Hukum Hadiah
            Hadiah telah di syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah, bahwa nabi telah bersabda :
لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ
“sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari)
Dan diriwayatkan imam Ath-Thabrani dari Hadist Ummu Hakim Al-Khuza’iyah, dia berkata : wahai rasulullah apakah engkau tidak menyukai penolakan terhadap kelembutan ?" beliau menjawab :”betapa buruknya yang demikian itu, sekiranya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang,pasti aku akan menerimanya”.
            Hadiah diperbolehkan dengan kesepakatan umat, apabila tidak terdapat disana larangan syar’I terkadang di sunattkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahmi, kasih sayang dan rasa cinta.terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisalnya.dan terkadang juga menjadi haram dan perantara menuju perkara yang haram dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok menyogok dan yang sehukum dengannya.
B.     Hukum menerima hadiah
            Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasannya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’I yang mengharuskan menolaknya.maka wajib menerimanya di karenakan dalil-dalil berikut ini :
1.      Rasulullah SAW bersabda : “penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, da jangan menganiaya kaum muslimin”.
2.      Di dalam ash-shahih (al-bukhari dan muslim). Dari Umar ra beliau berkata : rasulullah SAW memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan “berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku” maka beliau menjawab, “ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah.dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya.”
Salim bin abdillah berkata :”oleh karena itu abdullah tidak pernah meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidak pula menolak bingkisan yang di berikan kepadanya sedikitpun”.(shahih At Targhib 836)
Dan didalam sebuah riwayat, Umar ra berkata “ketahuilah demi dzat yang jiwaku ditangan-nya!saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya,” (shahih At Targhib 836)
3.      Rasulullah SAW tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenaka oleh sebab yang syar’I.oleh karena adanya dalil-dalil ini maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4.      Demikian pula diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairrah ra, beliau berkata bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang siapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia memintanya, maka hendaklah menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).

C.    Hukum menolak hadiah
            Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan unsur syar’I dan nabi SAW melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau :” jangan kalian menolak hadiah”. (telah lewat takhrijnya).

2.     Hibah
Para imam mazhab sepakat hibah menjadi sah hukumnya jika diakukan dengan tiga berkara yaitu :
1.      Ijab,
2.      Kabul, dan
3.      Qabdhu (serah terima barang yang di hibahkan).
Oleh karena itu, menurut pendapat hanafi,syafi’I dan hambali hibah tidak sah kecuali berkumpulnya tiga perkara itu.Maliki : sah dan lazimnya suatu hibah itu tidak memerlukan serah terima barang tetapi cukup adanya ijab dan qabul saja.
Serah terima barang merupakan syarat pelaksanann dan syarat sempurnanya hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan mengakhirkan penyerahan barang, padahal yang menerima hibah terus menerus memintanya hingga orang yang menghibahkan mati, sedangkan yang menerima terus memintanya (karena belum menerima hibahnya tersebut) hibahnya tidak menjadi batal dan ia berhk menerima kembali kepada ahli warisnya.
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.
 Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177)
A.    Rukun dan syarat hibah

a.       Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b.      Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c.       Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d.      Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
·         Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
·         Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
B.     Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah
orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :
اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)
“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
a.       Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
b.      Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
c.       Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.


C.     Masalah Mengenai Hibah
                        Pemberian Orang Sakit yang Hampir Meninggal Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu penerima harus bukan ahli warisnya dan jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak sah. Jika hibah itu jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada penerima hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.
                        Penguasaan Orang Tua atas Hibah Anaknya, Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh menguasai barang yang dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan dalam perwaliannya atau kepada anak yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya. Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta kembali hibah seseorang kepada anaknya.
D.    Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1.      Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2.      Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3.      Dapat mempererat tali silaturahmi

4.      Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka

0 komentar:

Posting Komentar