Pages

Senin, 07 Oktober 2013

WILAYAH AL - MADZLALIM

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.             Latar Belakang

           Di dalam peradilan islam banyak sekali lembaga-lembaga yang bergerak didalamnya, termasuk lembaga Madzlalim yang menjadi lembaga peradilan yang mengadili para pejabat Negara yang bermasalah, baik pejabat itu sendiri atau keluarganya. Banyak sekali yang harus di ketahui mengenai lembaga madzlalim terutama dari segi pemahamannya, sejarah perkembanganya, dan tugas-tugas dari lembaga madzlalim itu sendiri yang semuanya termasuk dalam wilayah madzlalim.
          
           Secara kultural, praktik peradilan islam itu turun-temurun dan menjadi rujukan bagi pemerintah islam berikutnya, termasuk pemerintahan islam dan Negara-negara muslim, seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri sejak masa pemerintahan Islam Mataram telah di kenal peradilan islam dengan sebutan peradilan surambi. Begitupula dalam masa kolonial, keberadaan peradilan islam di akui dengan sebutan peradilan agama. Bahkan pada masa kemerdekaan, peradilan islam diakui sebagai peradilan Negara hingga sejajar dengan peradilan Negara yang lain, walaupun dalam peraktiknya sering di sebut pengadilan semu.



1.2.             Rumusa Masalah
           Dari penjelasan di atas kami dapat merumuskan masalah yang akan kami jelaskan berbentuk sebagai pertanyaan yaitu:
1.      Apa pengertian dan pemahaman mengenai wilayah Madzlalim?
2.      Apa dasar hukum dari lembaga madzlalim?
3.      Bagaimana awal sejarah dan perkembangan lembaga madzlalim?
4.      Apa tugas dan wewenang dari lembaga madzlalim?


1.3.        Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Memahami apa itu wilayah madzlalim.
2.      Mengetahui dasar hukum dari lembaga madzlalim.
3.      Mengetahui bagaimana sejarah awal lembaga madzlalim dan perkembanganya.
4.      Mengetahui tugas dan wewenang dari lembaga madzlalim.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

            Bab ini menjelaskan bagaimana metode pembuatan makalah ini yang berjudul Wilayah madzlalim. Dalam mengumpulkan refrensi mengenai makalah kami, kami cukup mengunakan satu metode saja, yaitu:
2.1. Stadi Pustaka/Literatur
            Dalam metode ini kami menggunakan buku yang ada di perpustakaan dan di tempatlain yang sekiranya buku tersebut dapat di gunakan sebagai refrensi untuk makalah kami yang berjudul Wilayah Madzlalim, yang membahas tentang pengertian, sejarah, serta wewenangnya.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Wilayah Madzlalim
1.      Pengertian dan dasar hukum
Wilayah madzlalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang peradialn, yang lebih tinggi dari pada hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga madzlalim adalah lembaga yang menangani masalah-masalah yang di luar kewenangan hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiyayaan yang di lakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang berkuasa.
Keberadaan lembaga madzhalim merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran islam. Hal tersebut dapat kita pahami dari kandungan  ayat Al-qur’an, antara lain Al-baqarah ayat 279:
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya

dan surat As-syura’ ayat 40-42:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.


Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

menjelaskan bahwa lembaga ini kusus bertugas menangani perkara yang melibatkan pejabat atau keluarga pejabat Negara.[1]

2.      Sejarah

Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah saw. Pernah bertindak sebagai qadhi mazhalim dalam menyelesaikan masalah Zubair ibn awam dengan laki-laki dari kaum Anshar. Persengketaan tersebut dikenal sebagai perkara madzlalim, mengingat kedudukan Zubair Ibn Awam dan Rasulullah saw. Sangat dekat, karena Zubair adalah sepupu Rasulullah. Dalam persengketaan ini, Rasulullah sendiri yang menyelesaikanya dengan adil, dan dalam kasus ini, tindakan Rasulullah di sebut peradilan Madzlalim. Dengan demikian, lembaga mazhali yang di rumuskan fukaha adalah berdasarkan praktik yang di lakukan oleh Rasulullah saw.

Pada mulanya, sebelum perkara ini di ketahui dan di selesaikan oleh Rasulullah, pihak penggugat (laki-laki Anshar) memiliki beban pisikologi yang cukup berat, seakan-akan sudah kalah sebelum bertanding mengingat posisi lawanya adalah zubair ibn awwam keluarga dekat Rasulullah. Maka dari itulah laki-laki dari kaum Anshar ini segan dan enggan menyampaikan perkaranya ini kepada Rasulullah. Tetapi ia pun sangat menyadari bahwa jika perkara yang tengah di hadapinya ini tidak segerah di selesaikan maka , ia akan menjadi pihak yang teraniyaya. Zubair Ibn Awwam Sangat beruntung, karena rasulullah saw. Mengetahui sendiri permasalahan yang di hadapi oleh laki-laki Anshar itu, dan menyelesaikannya.

Pada masa khulafa’ al-Rasyiddin, penegakan lembaga madzlalim itu belum tampak jelas. Mengingat kesadaran umat islam pada masa itu relative tinggi, ketertiban masyarakat terkendali, sehingga jarang sekali terlihat adanya persoalan yang pelik dan krusial. Hal itu di karenakan umat islam senangtiasa mendapatkan bimbingan dan pemahaman untuk berbuat baik dan adil. Namun demikian, bukan berarti permasalahan-permasalahan itu tidak pernah muncul sama sekali. Karena ternyata dengan kehidupan masyarakat dan perlusasan wilayah kekuasaan pemerintahan islam yang semakin berkembang, sebenarnya masih ada permasalahan yang mirip dengan mazhalim yaitu bila seseorang melakukan Bias atas dasar watak keras yang dimilikinya. Walaupun permasalahan ini masih dapat di selesaikan oleh Hakim.[2]
            Pergeseran situasi dan kondisi telah membawa dan ikut membentuk perjalanan dan perkembangan sejarah islam itu sendiri. Tampilnya Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang disusul oleh anak cucunya sampai lapisan bawah yang cenderung ashabiyah (nepotisme) kepuncak pemerintahan Islam menandai suatu masa tersendiri yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan di zaman bidang peradilan. Menurut Al – Mawardi, orang Bani Umayahlah yang pertama menaruh pemerintahan khusus terhadap urursan mazhalim adalah Abd. Malik Ibn Marwan.
            Akan tetapi, perhatian yang lebih besar terhadap lembaga madzlalim, dan ia juga mengatur dan al – syurthah. Dalam suatu riwayat terungkap bahwa seorang pernah mengadukan suatu perkara kepada Umar Ibn Abd. Aziz tentang perbuatan Al – Walid Ibn Abd. Malik yang telah merampas harta kekayaan yang dimilikinya. Setelah Umar Ibn Abd. Aziz mengetahui tentang kebenaran pengaduan itu sendiri, maka ia memutuskannya dengan mengembalikan seluruh harta kekayaan pada pemiliknya.
            Pada umumnya perhatian terhadap peradilan madzlalim yang berkembang pada masa Bani Abbasiyyah tidak jauh berbeda dengan perhatian yang berkembang pada masa Bani Umayah, yaitu hanya terbatas beberapa khalifah tertentu. Karena itu, pada masa pertama pemerintahan Bani Abbasiyah bertahta, dan wewenang hakim bertambah luas. Hakim tidak sekedar berwenang mengurusi perkara perdata dan pidana. Termasuk kewenangannya dalam menyelesaikan masalah wasiat dan waqaf, tetapi pula berwenang dalam bidang kepolisian, madzlalim, hisbah, qishas, percetakan uang dan urusan bait al – mal.[3]
 Wanita tersebut mengadukan perkaranya atas perampasan kekayaan miliknya, yang dilakukan oleh anak khalifah itu sendiri. Pada saat wanita itu mengeluarkan suaranya dengan keras dan lantang dalam persidangan, seorang penjaga menegurnya. Berkenaan dengan hal itu, Al – Ma’mun secara reflek ia berkata : “Biarkan saja, karena sesungguhnya kebenaran itu lah yang diucapkan ; sedangkan kebatilan didiamkan oleh anaknya”.[4] Dengan begitu, tampaklah kebenaran pengaduan wanita itu. Harta kekayaan tersebut milik wanita itu di kembalikan lagi.
Di kerajaan Saudi Arbia, dewasa ini dikenal lembaga madzlalim, yang memiliki setrata sosial dan yang terhormat. Menurut Al – Hanfawy, kedudukan lembaga mazhalim tersebut lebih tinggi daripada lembaga – lembaga peradilan lainnya. Lembaga itu di kepalai oleh nadzir al – mazhalim, yang memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan mentri. Dan secara langsung ia bertanggung jawab kepada baginda raja, dan tidak bertanggung jawab kepada mentri kehakiman. Lembaga mazhalim itu secara khusus bertugas menyelesaikan perkara – perkara kezhaliman (penganiayaan) yang dilakukan oleh pihak penguasa, baik dari kalangan istana maupun dari kalangan birokrat lain atau kalangan – kalangan tertentu lainnya terhadap pihak orang awam dan masyarakat yang lemah baikpun dari fikiran atau dari segi materi.
Dan disamping itu, lembaga ini bertugas pula menangani kalangan – kalangan praktisi hukum yang melakukan berbagai pembiasaan dan risywah (sogok menyogok diantara kedua belah pihak). Keberadaan lembaga madzdalim itu memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam menjaga keuangan – keuangan Negara dari tindakan  - tindakan korupsi.
Dengan mengamati pengembangan peradilan mazhalim yang terjadi di Negara – Negara Islam dari masa ke masa, dapat di ketahui bahwa peradilan mazhalim itu di kawal langsung oleh khalifah sendiri atau gubernur langsung yang ditunjuk untuk mengemban amanat atau jabatan itu. Dapat juga oleh seorang yang mewakili mereka. Atau mengangkat seseorang yang disebut dalam wali al – mazhalim,atau shahib al – mazhalim.[5] Dalam pelaksanaanya, jabatan atau amanah tersebut dibantu oleh lima unsur yaitu :
1.      Orang yang dianggap memiliki kekuatan (dari lapisan pembantu mahkamah).
2.      Beberapa orang hakim yang dapat dipercaya dan jujur.
3.      Beberapa orang yang memiliki kualifikasi dalam bidang fiqih.
4.      Panitera, sekertaris atau kehakiman.
5.      Orang – orang yang dapat menjadi saksi – saksi ahli (al – shuhud al – ‘udl).


3.      Wewenang  wilayah Madzlalim
Al – mawardy di dalam Al – Ahkamus Sulthaniyyah menerangkan, bahwa perkara – perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam : [6]
1.      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan , maupun terhadap golongan.
2.      Kecurangan pegawai – pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta – harta kekayaan Negara lain.
3.      Mengontrol dan mengawasi keadaan para pejabat.
Ketiga perkara tersebut harus diperiksa oleh lembaga mazhalim apabila telah di ketahui adanya kecurangan – kecurangan dan penganiayaan – penganiayaan tanpa menunggu pengaduan dari pihak yang bersangkutan.
4.      Pengaduan yang di ajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5.      Mengembalikan hak – hak rakyat harta mereka yang dirampas oleh para penguasa – penguasa zhalim.
Ini juga tidak perlu memerlukan pengaduan terlebih dahulu.
6.      Memperhatikan harta – harta waqaf.
Jika waqaf – waqaf itu merupakan waqf umum maka lembaga ini mengawasi berlaku tidaknya syarat – syarat oleh sipemberi waqf. Adapun waqaf – waqaf yang khusus, maka lembaga ini bertindak setelah adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan.
7.      Melaksanakan putusan – putusan hakim yang tidak daapat dilaksanakan oleh hakim – hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya, adalah orang – orang yang tinggi derajatnya.
8.      Meneliti dan memeriksa perkara – perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas – petugas hisabah.
9.      Memelihara hak – hak Allah : yaitu ibadah – ibadah yang nyata seperti sholat jum’at, hari raya idul fitri maupun idul adha, haji dan jihad.
10.  Menyelesaikan perkara – perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak – pihak yang bersangkutan.

BAB IV
ANALISIS

a.         Analisis

Menurut kami lembaga madzlalim ini sangatlah penting dalam suatu peradilan, karena peran dari lembaga ini berbeda dengan lembaga lain dan tugasnya juga berbeda, yang harus menyelesaikan perkara-perkara yang di lakukan oleh seorang pemimpin atau pejabat-pejabat Negara lainnya. Dan di dalam suatu pendapat di atas lembaga Madzlalim itu menangani 10 perkara yang sudah kami jelaskan di atas.

Dan di dalam sejarah perkembanganya yang menjadi qadhi adalah seorang khalifa itu sendiri atau gubenur yang di tunjuk untuk mengemban amanah ini. Adapun orang lain yang menjadi qadhi selain kholifa atau gubenur adalah perwakilan dari mereka saja. Dalam pelaksanaanya peradilan ini di bantu oleh lima unsur yang mendukung jalanya peradilan tersebut.





BAB V
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
            Dari penjelasan kami diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Wilayah Madzlalim adalah suatu lingkup atau lembaga madzlalim yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara dan keluarga mereka.

6.2. Saran
            Dalam mempelajari peradilan, terutama peradilan dalam dunia islam, untuk mempermudah sangatlah penting mengetahui sejarah dari peradilan di dunia islam dari masa-kemasa, yang tentunya banyak sekali perubahan-perubahan yang di lakukan umat islam agar mencapai suatu keadilan. Dan juga sangat penting untuk mencaritahu akan dasar-dasar yang di jadikan rujukan dalam sebuah perdilan. Lembaga-lembaga dalam peradilan dunia islam juga sanggat mumpuni dalam menyelesaikan perkara-perkara, oleh karna itu mempelajari lembaga-lembaga yang ada di dalam peradilan islam sangatlah penting, bisa di tinjau juga dari segi sejarahnya dan wewenangnya yang berkuasa dalam suatu wilayah hokum tersendiri.











DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy T.M Hasbi.1964. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta : Ptalma’arif.
Hasan Ibrahim. 1953.  Tarikh Al – Qadha  Al – Islam Al – Siyasy Wa Al – Diny Wa Al – Staqofi  Wa Al – Ijtimaiy, Al Juz Al – Awwal. Kairo : Mathba’ah Al – Nahdhah Al – Misriyah.
Hasbi Ash Shiddiqy. 1965 Peradilan dan Sistem Peradilan Islam.  Yogyakar  :  ptalma’arif.
Al- Mawardi Imam. 2012. A l- Ahkam As-Sultoniyyah. Jakarta : PT. Darul Falah.






[1] Hasbi Ash Shiddiqy. Peradilan dan Sistem Peradilan Islam. Yogyakar : ptalma’arif. Hal. 77-81
[2] Vide : Al-Ahkamus- Sultoniyah. Hlm. 81
[3] Hasan Ibrahim, Tarikh Al – Qadha Al – Islam Al – Siyasy Wa Al – Diny Wa Al – Staqofi  Wa Al – Ijtimaiy, Al Juz Al – Awwal, (Kairo : Mathba’ah Al – Nahdhah Al – Misriyah, 1953) Hlm. 60.
[4] Abu ya’la al –hanbaliy, (1974) hlm. 75.
[5] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit, hlm. 70 – 71.
[6] Hasbi Ash Siddieqi. Prradilan dan Hokum Acara Islam. Yogyakarta : Ptalma’arif. Hlm78 - 79 

0 komentar:

Posting Komentar